BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia
adalah salah satu mahluk ciptaan Allah Swt, manusia adalah mahluk yang sempurna
di banding mahluk-mahluk lain ciptaan-Nya. Pada diri manusia, Allah Swt
memberikan banyak potensi diantaranya adalah potensi akal, hati, dan hawa
nafsu, hal ini yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain.
Selain
mahluk yang paling sempurna, manusia juga adalah satu-satunya mahluk yang
dipercaya Allah Swt sebagai khalifah di dunia. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Quran Surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." (QS, Al-Baqarah, 2: 30).
Oleh
karena itu, untuk menunjang amanat yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia
sebagai khalifah di muka bumi, maka ada kewajiban bagi manusia untuk menuntut
ilmu. Sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam wahyu pertama yang diterima
oleh Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam Quran Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang
berbunyi:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
1). bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2).
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3). Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah, 4). yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. 5). Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS, Al-‘Alaq, 96:1-5).
Ayat
tersebut di atas mengandung perintah bagi manusia untuk megenal Tuhannya, dan
untuk mengetahui kewajiban manusia di sini diperlukan adanya pendidikan. Karena
dengan pendidikanlah manusia bisa menjadi manusia seutuhnya.
Sejarah juga mencatat, ketika Perang Badar,
banyak dari kaum Quraisy yang kalah dalam peperangan akhirnya menjadi tawanan.
Rasulullah Saw akan membebaskan tawanan itu, jika mereka mau mengajarkan
membaca dan menulis kepada sepuluh umat Islam.
Catatan sejarah itu menunjukkan begitu
besarnya perhatian Nabi dalam upaya memerangi kebodohan dan keterbelakangan,
atau demikian ini menunjukkan, bahwa Nabi Muhammad merupakan sosok yang peduli
terhadap masalah pendidikan. Perhatian ini dimaksudkan agar umat Islam tidak
menjadi kaum yang marginal, tidak tergilas derasnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan sangat cepat yang mewarnai seluruh
aspek kehidupan manusia. Dalam rangka mengimbangi perkembangan IPTEK tersebut
pemerintah telah menetapkan suatu kebijaksanaan untuk meningkatkan mutu
pendidikan bagi setiap warganya. Pencapaian kualitas pendidikan merupakan
langkah yang harus dilakukan dengan usaha peningkatan kemampuan professional
yang dimiliki oleh guru. Utamanya guru pendidikan agama Islam.
Pendidikan
memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena
itu, manusia merupakan kekuatan sentral dalam pembangunan, sehingga mutu dan
sistem pendidikan akan dapat ditentukan keberhasilannya melalui peningkatan
motivasi belajar siswa.
Kehidupan
dan peradaban manusia di millenium ke-3 mengalami banyak perubahan. Dalam merespon
fenomena itu, lembaga pendidikan berlomba dan berpacu mengembangkan kualitas
pendidikan disegala bidang ilmu dan termasuk juga penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Era
yang demikian memunculkan sebuah krisis dimensi spiritual dalam kehidupan individu,
masyarakat bahkan pada sektor yang lebih luas berbangsa dan bernegara.
Ahli Tafsir kenamaan M. Quraish Shihab
(1992:21) berpendapat dalam buku Mizan, bahwa,
Substansi model
pendidikan yang menekankan keunggulan manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah. Manusia yang
dibina adalah makhluk
yang
memiliki unsur-unsur
material (jasmani) dan
imaterial (akal dan
jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan
ilmu, pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan
etika, sedangkan pembinaan
jasmaninya menghasilkan
keterampilan.
Dengan
penggabungan unsur-unsur tersebut,
terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan
akhirat, ilmu dan iman. Hal itulah
sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab
al-dunya. Beliau merupakan salah satu pakar
di Indonesia yang dalam
karya-karyanya membahas masalah keIslaman (keagamaan), yang diantaranya tentang
kependidikan.
Di Indonesia saat ini, kita bersyukur
sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya,
melepaskan adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa
Islam jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut al-Qur'an
dan al-Hadits.
Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan
batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak
dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu
mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini
sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai
disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme,
informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan
ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan
cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah
Mistis, koran Merapi, majalah Liberty.
Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun
diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan
gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak
sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya
akan kekuatan dan kekuasaan Allah Swt. Meskipun tidak semua tayangan dan
pemberitaan tersebut negatif.
Ketakutan kita pada hal-hal yang berbau menyekutukan
Allah Swt inilah yang mendasari pentingnya pendidikan agama dalam setiap
individu, karena realita saat ini banyak
orang yang mengaku Islam, namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu
tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat
menjawabnya.
Sungguh
ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain
sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan
mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia
tidak mengenal Allah yang disembahnya.
Ia
tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak
mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya, dan sebagai akibat dari
perbuatan tersebut, biasanya ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan
terjerumus dalam perbuatan syirik. Sebagai mana firman Allah Swt dalam Quran
Surat Yusuf ayat 106:
$tBur ß`ÏB÷sã NèdçsYò2r& «!$$Î/ wÎ) Nèdur tbqä.Îô³B ÇÊÉÏÈ
“Dan sebahagian
besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS, Yusuf, 12:106).
Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan
inilah ilmu yang paling utama. Karena Salah satu
tujuan pendidikan dalam Islam adalah bagaimana kita mendekatkan diri dan
menjalankan segala yang di perintahkan oleh Allah Swt, serta menjauhi segala
yang dilarang-Nya.
Kalau kita
melihat pada sejarah apa yang menjadi tujuan Allah Swt mengutus para Nabi-Nya
ke dunia ialah agar manusia tauhid kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah
dalam al-Qur'an Surat at-Taubah: 31:
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS, At-Taubah:
31)
Kedudukan tauhid dalam Islam
sangatlah fundamental, karena dari
pemahaman tentang tauhid itulah keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep
tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu
gugat dan sangat berpengaruh terhadap keIslaman seseorang. Allah Swt berfirman
dalam Quran Surat al-Ikhlas ayat 1-4 yang berbnyi:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
1). Katakanlah,
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4). dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS, Al-Ikhlas,112:1-4).
Karena
tauhid saat ini tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat
mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat
memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci
yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.
Penting saat ini untuk lebih waspada
terhadap perbuatan yang mengandung unsur syirik, dalam cara meningkatkan
ketauhidan inilah lembaga pendidikan dianggap salah satu formulasi terbaik, hal
ini dibuktikan dengan makin berkembangya lembaga pendidikan Islam.
Atas dasar ini lah penulis tertarik
untuk membahasnya dengan judul Fungsi Pendidikan Islam Dalam
Meningkatkan Ketauhidan Peserta Didik Yang Terkandung Dalam Surat Al-Ikhlas
(Studi Analisis Terhadap Tafsir Ibnu Katsir).
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan
diatas, maka perlu kiranya diberikan suatu rumusan masalah agar tidak terjadi
penyimpangan dalam pembahasan penelitian. Adapun rumusan masalahnya adalah
sebagai beikut:
1.
Bagaimana penafsiran
al-Qur'an surat al-Ikhlas menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir ?
2.
Bagaimana
isi kandungan al-Qur'an surat al-Ikhlas ?
3.
Bagaimana fungsi
pendidikan Islam dalam meningkatkan
ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas menurut syaikh Hafidz Ibnu Katsir ?
C. Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan
rumusan masalah tersebut diatas, maka penelitian penulisan dilakukan dengan
tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui penafsiran al-Qur'an
surat al-Ikhlas menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir.
2.
Untuk
mengetahui isi kandungan al-Qur'an surat al-Ikhlas.
3.
Untuk
mengetahui fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan
ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas menurut syaikh Hafidz Ibnu Katsir.
D. Kegunaan
Penelitian
Arikunto (2006 : 32), dalam bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, mengemukakan bahwa, “Syarat terpenting dalam
penelitian adalah penelitian itu memberikan hasil yang berguna. Penelitian
adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya.
Penelitian akan menjadi suatu hal yang sia-sia jika seseorang melakukan
penelitian yang hasilnya tidak memiliki kegunaan”.
Lebih lanjut, dikemukakan oleh Lembaga Penilitian
dan Pengembangan (LPP) IAID Ciamis (2001 : 9) mengemukakan bahwa “Kegunaan
penelitian menyatakan kemungkinan pemanfaatan yang bisa dipetik, dan secara
umum diarahkan pada dua jenis kegunaan yang bersifat ilmiah dan kegunaan yang
bersifat praktis”.
Dari
hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik secara ilmiah maupun
praktis.
1. Kegunaan
secara ilmiah dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi khazanah
keilmuan, serta dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan
pendidikan.
2. Kegunaan
secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan pengetahuan, pemahaman, terutama
bagi para guru karena ia senantiasa menjadi pigur bagi peserta didiknya, maka guru
diharapkan mampu menampilkan kepribadian yang mulia dalam setiap tindakan guna
memberikan ketauladanan yang baik bagi peserta didik dalam proses pendidikan, agar
tujuan dari pendidikan tersebut dapat tercapai.
E. Langkah-langkah
Penelitian
Suryabrata (2004 : 11-12), dalam bukunya Metodologi penelitian mengemukakan bahwa:
Penelitian adalah suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan
secara terencana dan sistematis guna mendapat pemecahan masalah atau mendapat
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu. Langkah-langkah yang dilakukan
itu harus serasi dan saling mendukung satu sama lain agar penelitian yang
dilakukan itu mempunyai bobot yang cukup memadai dan memberikan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak meragukan.
1.
Waktu Penelitian
Waktu
penelitian direncanakan dapat selesai dalam waktu tiga bulan, yaitu mulai dari
tanggal 2 Agustus 2013 sampai 30 Oktober 2013 dengan daftar jadwal sebagai
berikut :
Tabel
I
No
|
Kegiatan
|
Bulan
|
||||||||||
Agustus
|
September
|
Oktober
|
||||||||||
Minggu
ke
|
Minggu
ke
|
Minggu
ke
|
||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
||
1
|
Persiapan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
Pengumpulan data
|
*
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
Penlisan proposal
|
|
*
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
c.
Seminar proposal
|
|
|
|
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Penyusunan
skripsi
|
|
|
|
|
|
*
|
|
*
|
|
*
|
|
3
|
Bimbingan
dan Revisi
|
|
|
|
|
|
|
*
|
|
*
|
|
|
4
|
Pelaporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
|
5
|
Sidang
Munaqasyah
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
2.
Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara yang ditempuh oleh seseorang
sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Suatu aktifitas akan dapat
berjalan sebagaimana rencana semula apabila menggunakan metode yang tepat.
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, sejalan dengan
pendapat Suharsimi Arikunto (1995 :310) dalam buku yang berjudul Manajemen Penelitian. “Dimana penelitian
deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan”.
Hal
ini sesuai dengan pendapat Lexy J. Moleong (2004:8-12) dalam bukunya yang
berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif, yang menyatakan bahwa “Istilah deskriptif sebagai
karakteristik dari pendekatan kualitatif karena uraian datanya lebih bersikap
deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, menganalisis data secara
induktif dan rancangan yang bersifat sementara serta hasil penelitian yang
dapat dirundingkan”.
“Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis).
Di mana data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu
analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis)”. (Suryabrata, 1983: 94).
Berdasarkan
penjelasan dari pendekatan di atas, tentang pendekatan kualitatif, penelitian
ini merupakan penelitian tokoh. Maka jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kepustakaan atau library research,
yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan),
baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian
terdahulu.
Sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh M. Iqbal Hasan
(2002:11), dalam bukunya Pokok-Pokok
Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, bahwa skripsi yang semisal ini adalah library research,
“Dimana data yang dipakai dalam penulisan adalah bersumber dari literatur yang
diambil dari dokumen atau buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang
dikaji dalam skripsi ini”.
Penelitian
kepustakaan tersebut terpusat pada menganalisis fungsi pendidikan Islam dalam
meningkatkan ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas
(112) ayat 1-4 menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir disertai buku-buku lain yang berkaitan
dengan konsep di atas.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Karena
penelitian ini berbentuk library research, maka dalam mengumpulkan data
menggunakan metode dokumentasi. Suharsimi menjelaskan bahwa “Metode dokumentasi
adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen dan sebagainya”
(Arikunto, 2002:206).
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:206) dalam
bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Menyatakan bahwa data yang
dipakai dalam penelitian library reseach ini dapat dikelompokan menjadi
dua, yakni:
1. Sumber primer. Adalah berupa karya-karya
yang ditulis langsung oleh Syaikh
Hafidz Ibnu Katsir yang berhubungan dengan fungsi
pendidikan Islam dalam meningkatkan ketauhidan peserta didik yang terkandng
dalam al-Qur'an Surat al-Ikhlas, yang berupa tafsir, buku-buku, teks, dan karya
ilmiah lainnya.
2. Sumber sekunder. Adalah mencakup
kepustakaan yang berwujud buku-buku penunjang, jurnal dan karya-karya ilmiah
lainnya yang di tulis atau diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji
yang membantu penulis berkaitan dengan pemikiran yang dikaji.
Untuk pengumpulan data penulis menggunakan
data primer dan sekunder, yang menjadi Data Primer dalam penelitian ini adalah al-Qur'an dan
terjemahnya, serta Tafsir Ibnu Katsir dan literatur lain
4.
Teknik Analisis Data
Masri Singarimbun (1995 : 263), dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian
Survai mengemukakan bahwa, “Analisa data adalah proses penyederhanaan data
ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan”.
Analisis dalam penelitian merupakan bagian
dalam proses penelitian yang sangat penting, karena dengan analisa inilah data
yang ada akan nampak manfaatnya terutama dalam pemecahan masalah penelitian dan
mencapai tujuan akhir penelitian.
Klasifikasi data
sebagai awal mengadakan perubahan dari data mentah menuju pada pemanfaatan data
sehingga dapat terlihat kaitan satu dengan lainnya, juga tindakan ini sebagai
awal penafsiran untuk analisis. Kegiatan klasifikasi menuju pada proses
analisis dilakukan dengan cara mencocokan pada permasalahan pokok penelitian
yang menjadi tujuan akhir. (Subagyo, 2004 : 105).
Proses
analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh penulis dari
berbegai macam sumber. Dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data,
maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan, bentuk teknik dalam
teknik analisis data adalah dengan menggunakan analisis deskriptif.
Burhan Bungin (2007:231-232), dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif Akulturasi
Metodologis Kearah Ragam Varian Kontemporer, mendefinisikan analisis isi (content analysis) adalah:
Teknik penelitian untuk
membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan
sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan
komunikasi atau isi komunikasi. Dalam penelitian kualitatif, analisis isi
ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajegan isi komunikasi secara
kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi interaksi
simbolik yang terjadidalam komunikasi.
Pada hakikatnya, analisis isi ini adalah
salah satu model analisis yang digunakan peneliti dalam mengungkap,
mengetahui, dan memahami isi dari literatur yang sudah dibaca. Dengan begitu,
penulis akan dengan mudah menempatkan data mana yang sesuai dengan kebutuhan
penulisan dan penelitian.
“Analisis deskriptif yaitu metode
analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyususun suatu data,
kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut” (Surahmad, 1990: 139).
Dari definisi yang dikemukakan diatas
dapat dikatakan bahwa analisis deskriptif adalah analisis yang menggambarkan
dan menjelaskan data-data yang dikumpulkan. Adapun data yang dimaksud adalah
berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya
penerapan metode kualitatif.
Selain itu, semua yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian
laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data dan pengolahan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut, kemudian penulis memberikan
penyimpulan dari masing-masing kutipan data yang diambil dari sumber tersebut.
Dengan demikian setelah data-data dari berbagai sumber dikumpulkan, maka
penulis menganalisis data-data tersebut dengan menggunakan teknik analisis data
interaktif model of analisis, yaitu teknik analisis data yang terdiri
dari tiga komponen, yakni : 1) reduksi data, 2) sajian data, 3) penarikan
kesimpulan (Thoyyar, 2007 : 127).
BAB II
LANDASAN TEORETIS DAN
KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan
Pustaka
Dalam penulisan ini, penullis akan merumuskan
landasan teoritis yang akan digunakan dalam mengkaji permasalahan yang telah
dirumuskan, karena teori merupakan pijakan bagi penulis untuk mengetahui
persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai kerangka berfikir ilmiah. Huzni
Thoyyar menjelaskan “ Landasan
teoritis amat penting bagi sebuah penelitian, terutama agar suatu penelitian
memiliki landasan yang kokoh dan tidak sekedar coba-coba ( trial and eror
). Untuk itulah perlu dilakukan telaah kepustakaan” (Thoyyar,
2007 : 112).
1. Pengertian
Pendidikan Islam
1.1
Pengertian
Pendidikan
Suparlan
Suhartono, dalam buku Filsafat
Pendidikan, (2007:77) mengatakan bahwa:
Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris education,
berasal dari basaha latin educare, yang dapat diartikan pembimbingan
keberlanjutan (to lead forth). Jika diperluas, arti etimologis itu
mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi kegenerasi
sepanjang eksistensi kehidupan manusia.
Secara teoritis, ada pendapat yang mengatakan
bahwa bagi manusia pada umumnya, pendidikan berlangsung sejak 25 tahun sebelum
kelahiran. Pendapat itu dapat diartikan bahwa sebelum menikah, ada kewajiban
bagi siapapun untuk mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik anak
keturunannya.
Secara praktis ada yang berpendapat bagi
manusia individual, pendidikan dimulai sejak bayi lahir dan bahkan sejak masih
didalam kandungan. Memperhatikan kedua pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa
keberadaan pendidikan melekat erat pada dan didalam diri manusia sepanjang
zaman.
Definisi
diatas menggambarkan bahwa pada hakikatnya pendidikan dilaksanakan jauh dari
masa kelahiran. Dimana sebelum dan sesudah lahir, manusia ditunutut untuk
melaksanakan proses pendidikan. Semua manusia dimanapun berada mendapatkan
kewajiban untuk menuntut ilmu. Karena hanya dengan ilmulah derat manusia akan
diangkat oleh Allah Swt.
Sedangkan
Ahmad Tafsir (2005:28 ), dalam bukunya Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam mendefinisikan pendidikan secara luas,
yaitu:
“Pengembangan pribadi dalam semua
aspeknya”, dengan catatan bahwa yang dimaksud “pengembangan pribadi” sudah
mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain.
Sedangkan kata “semua aspek”, sudah
mencakup jasmani, akal, dan hati. Dengan demikian tugas pendidikan bukan
sekedar meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengembangkan seluruh
aspek kepribadian peserta didik.
Definisi inilah yang kemudian lebih dikenal
dengan istilah tarbiyah, dimana peserta didik bukan sekedar orang yang
mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Oleh karena
itu tidak dapat diidentikkan dengan pengajaran.
Menurut Abdul Mudjib (2008 : 12), dalam
bukunya Ilmu Pendidikan Islam, mengatakan
pendidikan juga disebut sebagai tarbiyah yang dapat diartikan
sebagai "Proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta
didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan
menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian
yang luhur".
Sedangkan
dalam Undang-undang Republik Indonesia pasal 1 angka 1 nomor 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS (2006:72) menegaskan bahwa,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Telah banyak
ahli yang membahas definisi pendidikan, tetapi dalam pembahasannya mengalami
kesulitan, karena antara satu definisi dengan definisi yang lain sering terjadi
perbedaan.
Dalam buku Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam Ahmad D Marimba (1980:
29) menjelaskan, “Pendidikan adalahbimbingan atau didikan secara sadar yang
dilakukan oleh pendidik terhadapperkembangan anak didik, baik jasmani maupun
rohani, menuju terbentuknyakepribadian yang utama”.
Definisi ini
sangat sederhana meskipun secara substansial telah mencerminkan pemahaman
tentang proses pendidikan. Menurut definisi ini, pendidikan hanya terbatas
pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik.
Sedangkan Ahmad
Tafsir (2008:88), dalam buku Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
mendefinisikan pendidikan secara luas, yaitu: “Pengembangan pribadi dalam semua
aspeknya”.
Muhammad Suyudi
(2005:52), dalam buku Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur`an Integrasi
Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani, menjelaskan bahwa yang dimaksud “Pengembangan
pribadi sudah mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain.
Sedangkan kata “semua aspek”, sudah mencakup jasmani, akal, dan hati”.
Dengan demikian
tugas pendidikan bukan sekedar meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga
mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik.
Definisi inilah yang kemudian lebih
dikenal dengan istilah tarbiyah, dimana peserta didik bukan sekedar
orang yang mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan.
Oleh karena itu tidak dapat diidentikkan dengan pengajaran.
Pada hakikatnya para pakar atau tokoh
dalam mendefinisikan pendidikan harus dilihat pada setting sosial yang
terjadi pada waktu itu, karena definisi tentang pendidikan yang mereka
ungkapkan adalah mencakup kondisi dan tuntutan sosial pada waktu itu, maka
jelas banyak definisi pendidikan yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh
yang lain. Akan tetapi pada hakikatnya tujuan yang mereka inginkan adalah sama,
yakni ingin memanusiakan manusia.
Dalam referensi yang lain M. Djumransjah
(2004:22), dalam buku
Filasafat Pendidikan, disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha
manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik
jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarkat dan
kebudayaan”.
Paragaraf definisi diatas lebih
menekankan pada pengembangan potensi peserta didik. Karena mereka yakin bahwa
manusia diciptakan dengan segala kemampuan dan kekurangan, maka sudah barang
tentu tugas dan tujuan lembaga pendidikan adalah memaksimalkan potensi yang
diberikan Tuhan kepada peserta didik. Dengan demikian, peserta didik akan mampu
mengembangkan dan mengeksplorasikan bakat dan potensi yang dimilikinya.
Dari definisi yang sudah diungkapkan
oleh para ahli, secara umum dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu definisi
secara sempit yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk anak dan hanya
dilakukan oleh lembaga atau institusi khusus dalam rangka mangantarkan anak
didik pada kedewasaan, sedangkan definisi pendidikan secara luas dimana
pendidikan berlaku untuk semua orang dan dapat dilakukan oleh semua orang
bahkan oleh lingkungan. Tetapi dari perbedaan tersebut ada kesamaan tujuan
yaitu untuk mencapai kebahagiaan dan nilai tertinggi.
Dengan demikian, definisi-definisi
tersebut dapat diverbalisasikan dalam sebuah definisi yang komperhensif bahwa,
pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh
pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan kepribadian
baik jasmani maupun rohani, secara formal, informal maupun nonformal yang
berjalan terus menerus untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tertinggi,
baik nilai insaniyah maupun ilahiyah.
1.2Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan atau al-Tarbiyah, menurut pandangan Islam merupakan
bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Allah adalah rabb al-‘alamin, juga
rabb al-nas. Dalam buku Filsafat
Pendidikan Islam,
M. Arifin (1987: 13), menyebutkan arti pendidikan Islam menurut
Prof. Dr. Omar Muhammad at- Toumy al-syaebany, ‘Pendidikan Islam diartikan
sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau
kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan’.
Sedangkan
dalam buku Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasasi Menuju Millennium Baru, Azyumardi Azra menyebutkan arti
pendidikan Islam sebagai berikut:
Menurut Yusuf al-Qardhawi “Pendidikan Islam
adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal, dan hatinya, rohani dan jasmaninya,
akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia
untuk hidup baik dalam keadaan damai dan menyipkan untuk menghadapi masyarakat
dengan segala kebikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.
Sedangkan al-Rasyidin
dan Syamsul Nizar (2005:
31-32), dalam buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan pengertian
pendidikan Islam menurut para ahli secara terminologi yaitu:
Al-Syaibani, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah
tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan
alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan
pengajaran sebagai satu aktivitas asasi dan profesi Siantar sekian banyak profesi
asasi dalam masyarakat.
Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan
islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup
lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dalam kehidupan yang
mulia. Dengan proses tersebut diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik
yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun
perbuatan.
Ahmad D. Marimba, mengemukakan bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama
(insan
kamil).
Ahmad Tafsir, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai
bimbingan yang diberikan oceh seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam.
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan
agama Islam merupakan bimbingan secara sadar dan terus-menerus dari seseorang
kepada orang lain sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan
ajarannya (pengaruh dari luar) baik secara individual maupun secara kelompok
sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara
utuh dan benar meliputi; aqidah (keimanan), syariah (ibadah dan muamalah), dan
akhlak (budi pekerti).
2. Fungsi
Pendidikan Islam
Dalam buku Filsafat
Pendidikan Islam al Rasyidin dan Samsul Nizar (2005 : 32), mengatakan secara umum “Fungsi
pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan
optimal”.
Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana yang
dikutif oleh Majid 'Irsan al-Kailani, "tugas pendidikan Islam pada
hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan
pengembangan tabi’at peserta didik". (Mudjib,2008 : 51).
Berkenaan dengan rumusan
tujuan pendidikan Islam, Djawad Dahlan (1993) berpendapat bahwa dalam ajaran
islam terdapat dua konsep ajaran Rasulullah Saw yang maknanya sangat padat dan memiliki kaitan
erat dengan tujuan pendidikan islam yaitu iman dan takwa. Kedua konsep ini tidak
bias dipisahkan. Untuk itu pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai derajat
iman dan takwa (Syahidin, 2005 : 14).
Lebih lanjut Abdul Mudjib ( 2008 : 52),
dalam buku Ilmu Pendidikan Islam, menyatakan untuk menelaah tugas-tugas
pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu : “(1) pendidikan
dipandang sebagai pengembangan potensi, (2) pendidikan dipandang sebagai
pewarisan budaya, (3) pendidikan dipandang sebagai interaksi antara
pengembangan potensi dan pewarisan budaya”.
Dalam buku Ilmu Pendidikan, Abu Ahmadi (2008
: 33-36) mengatakan ada tiga fungsi pendidikan yaitu:
Mengembangkan
wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya sehingga
dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan
kreativitas dan produktivitas.
Melestarikan nilai-nilai insani yang akan
menuntun kehidupannya sehingga keberadaannya baik secara individual maupun
sosial lebih bermakna.
Membuka pintu ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup
individu maupun sosial.
Secra lebih lanjut Abu Ahmadi menjelaskan fungsi pendidikan Islam
ialah:(1. Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri
manusia, alam sekitar dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan
membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta memahami hokum-hukum yang
terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini, akan menumbuhkan kreativitas dan produktivitas
sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan "Pencipta".
(2. Membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat
manusia (fitrah manusia) baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun
dari luar.
(3. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang
dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial. Untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan menurut sinyal yang diberikan al-Qur'an, sebagaimana tersebut pada butir pertama di
atas, hendaknya dimulai dengan memahami fenomena alam dan kehidupan dengan
pendekatan empirik, sehingga mengetahui hukum-hukumnya (Sunnah Allah).
Sedangkan dalam referensi lain Abdul Mujib (2008:69), dalam bukunya
Ilmu Pendidikan Islam, mengutip
pendapat dari Kurshid Ahmad, yang menyebutkan fungsi pendidikan adalah sebagai
berikut:
(1) alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan,
nilai-nilai tradisi dan social, serta ide-ide masyarakat dan bangsa, (2) alat
untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya
melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih
tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan
sosial dan ekonomi.
Sejalan dengan
penentuan prioritas pembangunan, lebih-lebih pada bidang yang bersifat
material, maka terdapat kecenderungan dalam bidang pendidikan untuk menjejalkan
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bidang material tersebut.
Kecenderungan
ini sebenarnya bertujuan baik. Ia bermaksud menyesuaikan diri dengan iklim
pembangunan dan kemajuan teknologi. Ia juga bermaksud memenuhi kebutuhan
tenaga-tenaga yang masih sangat kurang pada bidang-bidang tersebut.
Akan tetapi
karena bahan-bahan yang diberikan umumnya bersifat ekstern dari inti
kepribadian manusia, dengan sendirinya ciri pendidikan yang sangat nampak
hanyalah lebih bersifat pengajaran. Sedangkan pada dasarnya pendidikan tidak
identik dengan pengajaran yang hanya terbatas pada upaya pengembangan
intelektualitas manusia. Tugas pendidikan bukan melulu meningkatkan kecerdasan,
melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia.
Pendidikan
merupakan sarana utama untuk mengembangkan kepribadian manusia. Faktor tujuan
mempunyai peranan penting dalam pendidikan Islam, sebab akan memberikan
standar, arahan, batas ruang gerak, dan penilaian atas keberhasialan kegiatan
yang dilakukan. Dalam merumuskan tujuan pendidikan, khusus untuk pendidikan
Islam, “disesuaikan dengan kriteria dan karakter ilmu dalam Islam, yaitu
terstruktur hierarkis dari tingkat konkreta
sampai dengan illata” (Mulaiwan,
2005: 123).
Menurut Ahmad D.
Marimba (1962:43), dalam buku Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, “Tujuan adalah dunia cita, yakni
suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu
nampak pada tujuan akhir, ultimate aims of sducation. Tujuan akhir
biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti “terbentuknya kepribadian
muslim”.
Tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan.
Lebih lanjut Abu Ahmadi (2008: 95), dalam buku Ilmu Pendidikan merumuskan
ada tiga tahapan tujuan pendidikan, yakni :
Tujuan tertinggi
dan terakhir, tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena
sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal.
Tujuan tertinggi dan terakhir ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup
manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu : a) menjadi hamba Allah
yang bertakwa, b) mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di bumi) yang mampu
memakmurkannya. c) memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai
akhirat.
Tujuan umum, berbeda dengan tujuan tertinggi dan terakhir
yang lebih mengutamakan pendekatan filosofis, tujuan umum bersifat empiric dan
realistic. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat
diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian subjek
didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
Tujuan khusus, ialah pengkhususan atau operasionalisasi
tujuan tertinggi dan terakhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus
bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi dan tujuan
umum. Pengkhususan tujuan tersebut didasarkan pada : a) kultur dan cita-cita
suatu bangsa di mana pendidikan itu dilaksanakan, b) minat, bakat, dan
kesanggupan subjek didik, c) tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu
tertentu.
Sebagaimana
dengan apa yang tertera dalam al-Qur'an telah dengan jelas-jelas mengingatkan
manusia supaya jangan meninggalkan generasi yang lemah baik dalam keimanan,
materi, kesehatan, maupun pendidikan sebagaimana dalam firman Allah Swt al-Qur'an Surat an-Nisa ayat 9:
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
“Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”.
(QS, An-Nisa, 4: 9)
3. Pengertian
Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab
disebut dengan Tilmidz jamaknya adalah Talamid, yang
artinya adalah murid, maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan
pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah Thalib, jamaknya
adalah Thullab, yang artinya adalah mencari, maksudnya adalah
“orang-orang yang mencari ilmu”.
Menurut Samsul Nizar (2002 : 25), dalam Filsafat Pendidikan Islam menjelaskan peserta didik secara
definitif yang lebih detail, para ahli telah menuliskan beberapa pengertian
tentang peserta didik. “Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan
memilki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan”.
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, “Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:26), dalam buku Ilmu
Pendidikan juga
menuliskan tentang pengertian peserta didik, “Peserta didik adalah orang yang
belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan, bimbingan orang lain untuk
menjadi dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai
umat manusia, sebagai warga Negara, sebagai anggota masyarakat dan sebagai
suatu pribadi atau individu”.
Dari definisi-definisi yang diungkapkan oleh para ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang mempunyai fitrah
(potensi) dasar, baik secara fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan,
untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari
pendidik.
Samsul Nizar, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis
(2008:36), dalam karyanya
yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam yang mengklasifikasikan peserta didik sebagai berikut:
Peserta didik bukanlah miniature orang dewasa tetapi memiliki dunianya
sendiri. Peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan pertumbuhan.
Peserta didik adalah makhluk Allah Swt yang memiliki perbedaan individu baik
disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani
memiliki daya fisik dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
Dalam wibesite http://renizulianti.blogspot.com/2010/12/artikel-tentang-peserta-didik.html
(diakses
tgl. 15, 10, 2013) menerangkan bahwa peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperi siswa, mahasiswa,
warga belajar, pelajar, murid serta santri.
Siswa adalah istilah bagi peserta didik pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Mahasiswa adalah istilah umum bagi peserta didik
pada jenjang pendidikan perguruan tinggi.
Warga Belajar adalah istilah bagi peserta didik
nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Pelajar adalah istilah lain yang digunakan bagi
peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat menengah maupun tingkat
atas. Murid memiliki definisi yang hampir sama dengan pelajar dan siswa.
Santri adalah istilah bagi peserta didik pada jalur
pendidikan non formal, khususnya pesantren atau sekolah-sekolah yang
berbasiskan agama islam.
Dalam wibe
site http:
//alenmarlissmpn 1 gresik .wordpress.com /2009 /12/ 29 /hak –dan –kewajiban –peserta –didik –berdasarkan -uu-no- 20-th-2003 (diakses tgl. 13, 10,
2013) dijelaskan bahwa peserta didik
mempunyai kewajiban, diantaranya yaitu menurut UU RI No. 20 th 2003: “Menjaga
norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan. Ikut menanggung biaya pendidikan kecuali bagi yang dibebaskan dari
kewajiban tersebut”.
Dalam wibesite http: // renizulianti .blogspot .com /2010
/12 /artikel-tentang-peserta-didik.html
(diakses tgl. 10, 10, 2013) disebutkan bahwa:
Ibnu Zubeir,
menambahkan, kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh peserta didik
adalah jangan pernah meremehkan suatu ilmu yang telah diberikan.
Agar peserta
didik mendapatkan keridhoan dari Allah Swt dalam menuntut ilmu, maka peserta
didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu: a).Peserta didik
hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.b). Tujuan
belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat
keutamaan. c). Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu
di berbagai tempat. d). Setiap peserta didik wajib menghormati
pendidiknya. e). Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh
dan tabah.
Namun etika
peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik
dalam menuntut ilmu, yaitu :
Peserta
didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia
menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati
yang bersih.
Peserta
didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan
sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
Seorang
peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam
menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
Seorang
harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik,
berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang
baik.
Menurut al-Rasyidin
(2005 : 47) bahwa “peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang
memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya
mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan”.
Dalam paradigma pendidikan Islam menurut
Ahmad D. Marimba, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini,
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani
maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat,
memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. (al-Rasyidin
dan Nizar, 2005: 47).
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional, peserta didik adalah "Anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada
jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu".
Jadi
dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah individu yang memiliki potensi
untuk berkembang, dan mereka berusaha mengembangkan potensinya itu melalui
proses pendidikan pada jalur dan jenis pendidikan tertentu.
Menurut Abdul Mudjib (2008 : 113) dalam bukunya Ilmu
Pendidikan Islam tugas atau kewajiban peserta didik yang harus dilaksanakan
diantaranya adalah memenuhi syarat-syarat kode etik, menurut pendapat al-Ghazali,
yang dikutip oleh fhatiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik yaitu :
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada kepada Allah Swt,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan
jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan
mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahali) (perhatikan Q.S Al-An’am :
162 dan Al-Dzariyat : 56).
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.s Ad-Dhuha : 4)
artinya belajar tak semata-mata untuk mendapat pekerjaan tapi juga belajar
ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi,
baik dihadapan manusia dan Allah Swt.
Bersikap tawadlu'
(rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan
pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan
itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya
lebih rendah.
Menjaga fikiran dan
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran sehingga ia terfokus dan dapat
memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
Mempelajari ilmu-ilmu yang
terpuji (mahmudah) baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta meninggalkan
ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri
kepada Allah, sedangkan ilmu tercela dapat menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan
permusuhan antar sesama.
Belajar dengan bertahap atau
berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang
sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardu 'ain menuju ilmu yang fardu
kifayah ( Q.S Al-Insyiqaq : 19).
Belajar ilmu sampai tuntas
untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini spesialisasi
jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus
(Q.S Al-Insyirah : 7).
Mengenal nilai-nilai ilmiah
atas ilmu pengetahuan yang dipelajari sehingga mendatangkan objektivitas dalam
memandang suatu masalah.
Memprioritaskan ilmu diniyah
yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah Swt, sebelum masuk ilmu duniawi.
Mengenal nilai-nilai pragmatis
bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan,
menyejahterakan serta memberi keselamatan hidu dunia dan akhirat.
Peserta didik harus tunduk pada
nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya,
mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh
pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk
mengikuti kesenian yang baik".
"Menurut Ibnu Jama'ah yang
dikutip oleh Abd al-Amir Syams ad-Din etika peserta didik terbagi atas tiga macam,
yaitu : (1) terkait dengan diri sendiri, meliputi pembersihan hati, memperbaiki
niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud
(tidak materialistis), dan penuh kesederhanaan. (2) terkait dengan pendidik,
meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan dan menghormatinya,
senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman
darinya. (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada
pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikkan apa
yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu".
4. Pengertian
Ketauhidan
H.M.Yusran Asmuni (1993:1), dalam
bku Ilmu Tauhid, menjelaskan
bahwa “Tauhid dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang
berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan
tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada (وحد)
yuwahhidu (يوحد)”.
Jubaran Mas’ud (1967:972) dalam buku Raid ath-Thullab, menerangkan secara etimologis, “Tauhid
berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa;Tunggal;satu.
Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa
Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui akan
keesaan Allah;mengeesakan Allah”. Jubaran Mas’ud juga menulis bahwa tauhid
bermakna “beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa”, juga sering disamakan dengan
kata “tiada Tuhan selain Allah”.
Fuad Iqrami al-bustani (1986:905), dalam buku Munjid ath-Thullab, juga menulis
hal yang sama. Menurutnya tauhid adalah “Keyakinan bahwa Allah itu bersifat
“Esa”. Jadi tauhid berasal dari kata “wahhada” (وحد) “yuwahhidu” (يوحد)
“tauhidan” (توحيدا), yang berarti mengesakan Allah Swt.
Dalam website http ://
ridwan 202. wordpress. com /
istilah - agama / tauhid (diakses tgl. 2, 10, 2013), penulis temukan
pengertian tauhid menurut beberapa ahli, diantaranya :
Menurut Syekh Muhammad Abduh: Tauhid
adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib
tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang
sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan padaNya. Juga membahas tentang
rasul rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka. Sedangkan menurut Husain
Affandi al-Jars mengatakan: “Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang
menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan”.
Menurut Prof. M. Thahir A. Muin, Tauhid
adalah ilmu yang meyelidiki dan membahas soal yang wajib, mustahi, dan jaiz
bagi Allah dan bagi sekalian utusan-utusanNya, juga mengupas dalil-dalil yang
mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan adaNya zat
yang mewujudkan.
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil
tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka
menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah,
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid al Asma Was Shifat.
Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam website
http: // muslim .or .id/ aqidah /makna-tauhid.html (diakses tgl. 29, 09, 2013), yang mengartikan
nama-nama tauhid sebagai berikut:
Tauhid Rububiyyah
adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan
oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja,
dan Pencipta semua makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan
mereka. (al Jadid Syarh Kitab Tauhid,
17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta
dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya
diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan
badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll.
Dengan kata
lain semua aktivitas
alam semesta ini tidak terlepas dari kebesaran dan kekuasaan Allah
sebagai Rabb. Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk
mengurus alam ini, mengakui bahwa Dialah Rabbyang Esa, tunggal
tidak ada Rabb selain Dia inilah yang disebut sebagai
tauhid rububiyah.
Selanjutnya ketauhidan itu tidak hanya pengakuan bahwa Allah satu-satunya
pencipta dan AIlah, namun ketauhidan tersebut harus sejalan dengan semua
aktivitas seorang hamba, keyakinan tersebut harus diwujudkan melalui ibadah,
amal sholeh yang langsung ditujukan kepada Allah Swt tanpa perantara serta
hanya untuk Dialah segala bentuk penyembahan dan pengabdian, ketaatan tanpa
yang hanya tertuju kepadaNya syarat, inilah tauhid ubudiyah.
Tauhid Uluhiyyah
adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir
maupun batin (al Jadid Syarh Kitab
Tauhid, 17). Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai
oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Tauhid Uluhiyah sebagaimana dijelaskan oleh Daud Rasyid
ialah bahwa yang berhak dijadikan tempat khudhu’ atau ketundukan
dalam beribadah serta ketaatan hanyalah Allah Swt yang berhak dipatuhi secara
mutlak oleh hambanya bukan hamba yang berlagak sebagai “raja”.
Dijelaskan pula bahwa Tauhid al Hakimiyah ialah hanya
Allah-lah yang berhak membuat ketentuan, peraturan, dan hukum.Meskipun mungkin
konsep ini sudah terkandung dalam pengertian Uluhiyah namun ulama kontemporer
tetap memisahkannya dengan tujuan menonjolkan kehakimiyahan Allah Swt.
Ketauhidan ini harus dimiliki oleh setiap muslim, oleh sebab itu ditanamkan
kepada para generasi penerus karena tanpa tauhid semuanya akan hancur, baik
masa depan agama maupun bangsa. Pendidikan ketauhidan perlu ditanamkan sejak
dini. Awal kehidupan serta lingkungan pertama dan utama yang dikenal anak
adalah keluarga.
Keluarga dapat disebut sebagai unit dasar serta unsur yang fundamental
dalam masyarakat, karena dengan keluarga kekuatan-kekuatan yang tersusun dalam
komunitas sosial dirancang di dalamnya. Nabi Muhammad Saw memandang keluarga
sebagai struktur yang tak tertandingi dalam masyarakat, beliau sendiri
memberikan contoh teladan dalam masalah ini, serta menganjurkan umatnya untuk
mengikuti dan melestarikan tradisi mulia dan agung ini, disamping itu sebuah
perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai salah satu prinsip moral yang
paling penting dalam pandangan Islam.
Tauhid
al Asma’ was Sifat adalah
mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu
sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam al-Qur'an dan Hadits
Rasulullah. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan
nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama
dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil
dan tanpa takyif.
Tauhid akan membuat jiwa tenteram, dan menyelamatkan
manusia dari kesesatan dan kemusyrikan. Selain itu, tauhid juga
berpengaruh untuk membentuk sikap dan perilaku anak. Jika tauhid tertanam
dengan kuat, ia akan menjadi sebuah kekuatan batin yang tangguh. Sehingga
melahirkan sikap positif.
Optimisme akan lahir menyingkirkan rasa kekhawatiran
dan ketakutan kepada selain Allah. Sikap yang positif dan perilaku positif akan
bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat
keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan
sehari-hari. Maka benar jika keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian
diyakini namun juga harus tercermin dalam perilaku seorang muslim. Ketauhidan
yang telah terbentuk menjadi pandangan hidup seorang anak akan melahirkan
perilaku yang positif baik ketika sendirian maupun ada orang lain, karena
ada atau tidak ada yang melihat, anak yang memiliki ketuhidan yang benar akan
merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam penglihatan dan pengawasan Allah,
sehingga amal dan perilaku positif yang dilakukan benar-benar karena mencari
ridho Allah Swt.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid
sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh para pelaku dinia pendidikan
Islam, karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang
benar, dan bertakwa kepada Allah Swt, yang dihiasai dengan akhlak dan perilaku
positif, sehingga pesserta didik yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal
yang positif.
Hal-hal yang dapat bermanfaat baik untuk dirinya,
keluarganya, masyarakatnya, agamanya, bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari
anak yang bertauhid hanyalah mencari ridho Allah Swt, bukan mencari sesuatu
yang bersifat duniawi.
1.1
Dasar
Dan Tujuan Pendidikan Tauhid
Ali Abdul Halim Mahmud (1996:27), dalam buku Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj,
Akidah Serta Harrakah mengatakan bahwa,“al-Qur'anul Karim , Sunnah Nabi
Muhammad Saw, serta penalaran serta perenungan yang sehat terhadapnya merupakan
asas atau sumber pokok akidah Islamiyah”.
Karena membicarakan dasar pendidikan Islam berarti
membicarakan dasar syari’at Islam yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Abdurrahman Abdullah (2002:64 ), dalam buku Aktualisasi
Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonstruksi Pemikiran Dalam Tinjauan Filosofis
Pendidikan Islam mengatakan bahwa Dasar-dasar pendidikan tauhid dalam al-Qur'an
antara lain :
a.
Surat At Tahrim (66) ayat 6 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan (QS, At Tahrim, 66:6).
b.
Surat Luqman(31) ayat 13 :
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ÎtIô±t uqôgs9 Ï]Ïysø9$# ¨@ÅÒãÏ9 `tã È@Î6y «!$# ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ $ydxÏGtur #·râèd 4 y7Í´¯»s9'ré& öNçlm; Ò>#xtã ×ûüÎgB ÇÏÈ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan (QS, Luqman, 31:13).
Setelah mengetahui dasar pendidikan tauhid, dapat kita
lihat bahwa Al-Qur'an ternyata memberikan statemen yang jelas dan tegas tentang
pendidikan perlunya pendidikan tauhid.
Selanjutnya ialah tentang tujuan pendidikan tauhid, membicarakan
tujuan pendidikan tauhid tidak terlepas dari tujuan pendidikan Islam karena
pendidikan tauhid adalah bagian dari pendidikan Islam itu sendiri. Oleh sebab
itu sebelum kita membicarakan tujuan pendidikan tauhid kita perlu mengetahui
tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu.
“Tujuan
pendidikan Islam akan terlihat jelas jika kita melihat defenisinya kembali.
Tujuan adalah salah satu faktor yang harus ada dalam setiap kegiatan begitu pun
dalam kegiatan pendidikan, termasuk aktivitas pendidikan Islam.Tentunya tujuan
tersebut terwujud setelah seseorang mengalami proses pendidikan Islam secara
keseluruhan”.(Tauhid,
1990:23).
Sayid Sabiq (tt:23-24), mengatakan dalam buku Aqidah
Islam : Pola Hidup Manusia Beriman bahwa:
“Tujuan
pendidikan Islam ialah untuk menyiapkan manusia yang bermanfaat, baik bagi
dirinya sendiri maupun untuk masyarakat”. Sedangkan Muhammad Athiyah al Abrasyi
memiliki konsep yang berbeda yakni ‘mempersiapkan individu agar dapat hidup
dalam kehidupan yang sempurna sebagai sosok yang berkepribadian al-fadhilah
atau insan kamil’. Anwar Jundi, memiliki bahasa konsep yang lain,
menurutnya ‘tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berpribadi
muslim’.
Mahmud Yunus (tt:23), dalam buku Metodik Khusus
Pendidikan Agama menyatakan bahwa tujuan pendidikan dalam bidang
keimanan ialah :
a). Agar
memiliki keimanan yang teguh kepada Allah, Rasul-rasul, Malaikat, hari akhir,
dan lain sebagainya. b). Agar memiliki keimanan berdasarkan kepada kesadaran
dan ilmu pengetahuan, bukan sebagai “pengikut buta” atau taklid semata-mata.
c). Agar keimanan itu tidak mudah rusak apalagi diragukan oleh orang-orang yang
beriman.
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan (1998:239), dalam buku
Filsafat Pendidikan Islam, mengutip pendapat dari al Ghazali tenteng
tujuan pendidikan keimanan yaitu:
Agar anak
didik menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya. Melatih diri
untuk mendekatkan diri (bertakarrub) kepada Allah, membentuk kepribadian yang
sempurna dengan bimbingan taufik serta nur ilahi agar terbuka jalan menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ali Abdul Halim Mahmud (1996: 45-48), daam buku Karakteristik
Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah Serta Harakah,mengtkan bahwa tujuan dari
pendidikan ketuhidan adalah sebagai berikut:
Menurut
Abdullah Nashih Ulwan tujuan pendidikan keimanan adalah agar anak mempunyai
tanggungjawab, jujur, jiwa kemanusiaan yang tinggi, berakhlak mulia, dan
membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan.
Menurut
M. Saleh tujuan pendidikan ketauhidan adalah : Menanamkan rasa cinta kepada
Allah. Bersyukur kepada Allah. Mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah.
Mencintai para Rasul-Nya. Meyakini hal-hal gaib.
Abdurrahman
An-Nahlawi merumuskan tujuan pendidikan ketauhidan agar : Ikhlas beribadah
kepada Allah. Mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah. Menjauhi yang
dilarang Allah, seperti syirik dan segala hal yang dapat mengalihkan ketauhidan
dan mengaburkan tujuan pendidikan.
1.2
Fungsi
Pendidikan Tauhid
Dalam website http
:// ridwan 202. wordpress. com /
istilah - agama / tauhid (diakses
tgl. 04, 10, 2013), dikatakan bahwa fungsi merupakan bentuk operasional dari sebuah
tujuan, sehingga kita dapat melihat fungsi pendidikan tauhid dengan
menganalisis tujuan dari pendidikan tauhid.
Fungsi pendidikan tauhid adalah sebagi berikut:
Yusron
Asmuni menyebutkan bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga adalah berfungsi
untuk :Memberikan ketentraman dalam hati anak. Menyelamatkan anak dari dari
kesesatan dan kemusyrikan. Membentuk perilaku dan kepribadian anak, sehingga
menjadi falsafah dalam kehidupannya.
Dari
penjelasan yang diuraikan oleh Abdurrahman an-Nahlawi, dapat dilihat
bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga memiliki beberapa fungsi agar : Anak
dapat beribadah kepada Allah secara ikhlas. Anak dapat mengetahui makna dan
maksud beribadah kepada Allah. Anak dapat menjauhi hal-hal yang dilarang Allah
seperti syirik dan semua hal yang dapat menghancurkan ketauhidan.
Keluarga
merupakan tempat pertama kali anak menerima pendidikan tauhid. Dengan menanamkan
kepada anak bahwa dirinya selalu berada dalam perlindungan dan kekuasaan Allah
yang Maha Esa. Sehingga dengan proses yang panjang anak akan selalu mengingat
Allah Swt.
Pendidikan
tauhid dalam keluarga juga membuat anak mampu memiliki keimanan berdasarkan
kepada pengetahuan yang benar, sehingga anak tidak hanya mengikuti saja atau
“taklid buta”. Dengan mengajarkan ketauhidan yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits,
maka ketauhidan yang terbentuk dalam jiwa anak disertai dengan ilmu pengetahuan
yang berdasarkan kepada argumen-argumen dan bukti-bukti yang benar, serta dapat
dipertanggungjawabkan.
Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat
keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan
sehari-hari. Maka benar jika keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian
diyakini namun juga harus tercermin dalam perilaku seorang muslim.
Ketauhidan yang telah terbentuk menjadi pandangan
hidup seorang anak akan melahirkan perilaku yang positif baik ketika
sendirian maupun ada orang lain, karena ada atau tidak ada yang melihat, anak
yang memiliki ketuhidan yang benar akan merasakan bahwa dirinya selalu berada
dalam penglihatan dan pengawasan Allah, sehingga amal dan perilaku positif yang
dilakukan benar-benar karena mencari ridho Allah Swt.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam
sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh pendidik ataupun para orang
tua, karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang
benar, dan bertakwa kepada Allah Swt, yang dihiasai dengan akhlak dan perilaku
positif, sehingga anak-anak yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal yang
positif.
Hal-hal yang dapat bermanfaat baik untuk dirinya,
keluarganya, masyarakatnya, agamanya, bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari
anak yang bertauhid hanyalah mencari ridho Allah Swt, bukan mencari sesuatu
yang bersifat duniawi.
B. Kerangka
Pemikiran
Pendidikan tauhid bagi peserta didik menuntut
kemampuan pengetahuan dan wawasan dari lembaga pendidik yang luas. Karena
lembaga pendidikan sebagai pendidik utama dalam konsep ini. Lembaga pendidikan
harus memiliki pengetahuan Islam yang terintegral untuk melaksanakan konsep
pendidikan tauhid dalam kehidupan sehari-harinya, selain penguasaan terhadap
materi-materi ketauhidan dan metodenya. Selain itu metode yang digunakan harus
bertahap, sehingga sesuai antara metode, materi, dan kemampuan peserta didik.
Pendidikan tauhid dalam menempati posisi terpenting
dalam pendidikan keluarga sebagai landasan dan tujuan dari pendidikan lain yang
terintegral di dalamnya. Seperti pendidikan akhlak dan pendidikan ibadah.
Pendidikan tauhid sebagai ruh dari pendidikan-pendidikan lain, namun pendidikan
tauhid memerlukan bantuan materi-materi pendidikan lain untuk mengantarkan ruh
dan tujuan tauhid. Sehingga peserta didik akan melakukan seluruh aktivitas
kehidupannya dengan landasan ketauhidan yang mantap.
Allah
Swt berfirman dalam Quran Surat Al-Ikhlas:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
1).
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2). Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3). Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, 4). dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS,
Al-Ikhlas, 112: 1-4).
Berdasarkan ayat di
atas, Allah Swt memerintahkan manusia supaya mengesakan-Nya, tidak
menyekutukan-Nya, karena tidak ada mahluk yang mampu menandingi-Nya bahkan
menyamai-Nya sekalipun.
Sebagaimana Baginda
Nabi Muhammad Saw, diutus ke dunia ini salah satunya adalah menyeru manusia
supaya kembali bertauhid kepada Allah Swt. Hal ini beliau tunjukan melalui
ahlaqul karimahdalam kepribadiannya sehari-hari.
Begitupun dalam dunia pendidikan, seorang guru harus mencontoh keteladanan Rasulullah Saw. Karena sebagaimana tujuannya pendidik adalah memberikan keteladanan yang
baik bagi peserta didiknya, pendidik adalah cermin bagi peserta didik, semua
yang dilakukan pendidik akan ditiru oleh peserta didik. Pendidik harus
berhati-hati dalam bersikap karena peserta didik akan selalu menilai semua
sikap dan perilaku pendidik.
Dalam Islam.
pendidikan bertujuan untuk membina dan membentuk perilaku atau akhlak peserta
didik dengan cara meningkatkan keimanan, keta kwaan, pemahaman, penghayatan,
serta pengamalan peserta didik terhadap ajaran Islam. Sehingga setelah
menyelesaikan pendidikan, peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
masyarakat, bangsa dan bernegara.
Maka dari itu, dalam proses pendidikan guru sebagai cerminan siswa
dalam setiap tindakan, guru diharapkan menampilkan ketauladanan bagi anak-anak
didiknya agar mereka dengan benar mengikuti keteladanan baik tersebut kelak
mereka akan menemukan identitas kepribadiannya yang mantap penuh dengan
keimanan dan ketakwaan disertai dengan keindahan akhlak yang dimilikinya.
Pendidikan tauhid juga sebagai sebuah proses, oleh sebab itu hasil dari
pendidikan tauhid tidak dapat dilihat langsung hasilnya. Namun berkembang
secara terus menerus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
Pendidikan tauhid harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus.
Guru tidak boleh putus asa dan
menyerah, apalagi sampai menghentikan pendidikan ini. Jika berhenti maka
prosespun akan berhenti. Guru harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi
atas pendidikan tauhid peserta didik. Rasa tanggungjawab akan menjadi motor
penggerak untuk memperhatikan dan memikirkan pendidikan tauhid untuk peserta
didiknya.
Sejalan dengan perintah ayat di atas yang disinkronkan dengan Fungsi
pendidikan nasional dituangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
pasal 3 yang berbunyi,“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka
pendidikan di Indonesia haruslah mengacu pada konsep tauhid yang tertera dalam
Quran Surat Al-Ikhlas.
Secara lebih jelas kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat dalam
skema berikut:
Tabel II
QS.Al-Ikhlas
(112):1-4
Dalam
Persfektif syaikh
Hafidz Ibnu Katsir
|
Fungsi Pendidikan Islam
|
Ketauhidan peserta didik yang berkualitas
tinggi
|
Peserta Didik
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia
adalah salah satu mahluk ciptaan Allah Swt, manusia adalah mahluk yang sempurna
di banding mahluk-mahluk lain ciptaan-Nya. Pada diri manusia, Allah Swt
memberikan banyak potensi diantaranya adalah potensi akal, hati, dan hawa
nafsu, hal ini yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain.
Selain
mahluk yang paling sempurna, manusia juga adalah satu-satunya mahluk yang
dipercaya Allah Swt sebagai khalifah di dunia. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Quran Surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." (QS, Al-Baqarah, 2: 30).
Oleh
karena itu, untuk menunjang amanat yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia
sebagai khalifah di muka bumi, maka ada kewajiban bagi manusia untuk menuntut
ilmu. Sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam wahyu pertama yang diterima
oleh Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam Quran Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang
berbunyi:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
1). bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2).
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3). Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah, 4). yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. 5). Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS, Al-‘Alaq, 96:1-5).
Ayat
tersebut di atas mengandung perintah bagi manusia untuk megenal Tuhannya, dan
untuk mengetahui kewajiban manusia di sini diperlukan adanya pendidikan. Karena
dengan pendidikanlah manusia bisa menjadi manusia seutuhnya.
Sejarah juga mencatat, ketika Perang Badar,
banyak dari kaum Quraisy yang kalah dalam peperangan akhirnya menjadi tawanan.
Rasulullah Saw akan membebaskan tawanan itu, jika mereka mau mengajarkan
membaca dan menulis kepada sepuluh umat Islam.
Catatan sejarah itu menunjukkan begitu
besarnya perhatian Nabi dalam upaya memerangi kebodohan dan keterbelakangan,
atau demikian ini menunjukkan, bahwa Nabi Muhammad merupakan sosok yang peduli
terhadap masalah pendidikan. Perhatian ini dimaksudkan agar umat Islam tidak
menjadi kaum yang marginal, tidak tergilas derasnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan sangat cepat yang mewarnai seluruh
aspek kehidupan manusia. Dalam rangka mengimbangi perkembangan IPTEK tersebut
pemerintah telah menetapkan suatu kebijaksanaan untuk meningkatkan mutu
pendidikan bagi setiap warganya. Pencapaian kualitas pendidikan merupakan
langkah yang harus dilakukan dengan usaha peningkatan kemampuan professional
yang dimiliki oleh guru. Utamanya guru pendidikan agama Islam.
Pendidikan
memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena
itu, manusia merupakan kekuatan sentral dalam pembangunan, sehingga mutu dan
sistem pendidikan akan dapat ditentukan keberhasilannya melalui peningkatan
motivasi belajar siswa.
Kehidupan
dan peradaban manusia di millenium ke-3 mengalami banyak perubahan. Dalam merespon
fenomena itu, lembaga pendidikan berlomba dan berpacu mengembangkan kualitas
pendidikan disegala bidang ilmu dan termasuk juga penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Era
yang demikian memunculkan sebuah krisis dimensi spiritual dalam kehidupan individu,
masyarakat bahkan pada sektor yang lebih luas berbangsa dan bernegara.
Ahli Tafsir kenamaan M. Quraish Shihab
(1992:21) berpendapat dalam buku Mizan, bahwa,
Substansi model
pendidikan yang menekankan keunggulan manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah. Manusia yang
dibina adalah makhluk
yang
memiliki unsur-unsur
material (jasmani) dan
imaterial (akal dan
jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan
ilmu, pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan
etika, sedangkan pembinaan
jasmaninya menghasilkan
keterampilan.
Dengan
penggabungan unsur-unsur tersebut,
terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan
akhirat, ilmu dan iman. Hal itulah
sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab
al-dunya. Beliau merupakan salah satu pakar
di Indonesia yang dalam
karya-karyanya membahas masalah keIslaman (keagamaan), yang diantaranya tentang
kependidikan.
Di Indonesia saat ini, kita bersyukur
sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya,
melepaskan adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa
Islam jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut al-Qur'an
dan al-Hadits.
Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan
batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak
dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu
mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini
sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai
disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme,
informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan
ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan
cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah
Mistis, koran Merapi, majalah Liberty.
Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun
diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan
gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak
sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya
akan kekuatan dan kekuasaan Allah Swt. Meskipun tidak semua tayangan dan
pemberitaan tersebut negatif.
Ketakutan kita pada hal-hal yang berbau menyekutukan
Allah Swt inilah yang mendasari pentingnya pendidikan agama dalam setiap
individu, karena realita saat ini banyak
orang yang mengaku Islam, namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu
tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat
menjawabnya.
Sungguh
ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain
sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan
mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia
tidak mengenal Allah yang disembahnya.
Ia
tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak
mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya, dan sebagai akibat dari
perbuatan tersebut, biasanya ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan
terjerumus dalam perbuatan syirik. Sebagai mana firman Allah Swt dalam Quran
Surat Yusuf ayat 106:
$tBur ß`ÏB÷sã NèdçsYò2r& «!$$Î/ wÎ) Nèdur tbqä.Îô³B ÇÊÉÏÈ
“Dan sebahagian
besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS, Yusuf, 12:106).
Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan
inilah ilmu yang paling utama. Karena Salah satu
tujuan pendidikan dalam Islam adalah bagaimana kita mendekatkan diri dan
menjalankan segala yang di perintahkan oleh Allah Swt, serta menjauhi segala
yang dilarang-Nya.
Kalau kita
melihat pada sejarah apa yang menjadi tujuan Allah Swt mengutus para Nabi-Nya
ke dunia ialah agar manusia tauhid kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah
dalam al-Qur'an Surat at-Taubah: 31:
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS, At-Taubah:
31)
Kedudukan tauhid dalam Islam
sangatlah fundamental, karena dari
pemahaman tentang tauhid itulah keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep
tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu
gugat dan sangat berpengaruh terhadap keIslaman seseorang. Allah Swt berfirman
dalam Quran Surat al-Ikhlas ayat 1-4 yang berbnyi:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
1). Katakanlah,
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4). dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS, Al-Ikhlas,112:1-4).
Karena
tauhid saat ini tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat
mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat
memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci
yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.
Penting saat ini untuk lebih waspada
terhadap perbuatan yang mengandung unsur syirik, dalam cara meningkatkan
ketauhidan inilah lembaga pendidikan dianggap salah satu formulasi terbaik, hal
ini dibuktikan dengan makin berkembangya lembaga pendidikan Islam.
Atas dasar ini lah penulis tertarik
untuk membahasnya dengan judul Fungsi Pendidikan Islam Dalam
Meningkatkan Ketauhidan Peserta Didik Yang Terkandung Dalam Surat Al-Ikhlas
(Studi Analisis Terhadap Tafsir Ibnu Katsir).
No comments:
Post a Comment