Pages

Friday, 11 April 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah Swt, manusia adalah mahluk yang sempurna di banding mahluk-mahluk lain ciptaan-Nya. Pada diri manusia, Allah Swt memberikan banyak potensi diantaranya adalah potensi akal, hati, dan hawa nafsu, hal ini yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain.
Selain mahluk yang paling sempurna, manusia juga adalah satu-satunya mahluk yang dipercaya Allah Swt sebagai khalifah di dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Quran Surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS, Al-Baqarah, 2: 30).

Oleh karena itu, untuk menunjang amanat yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka ada kewajiban bagi manusia untuk menuntut ilmu. Sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam Quran Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
1). bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4). yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. 5). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS, Al-‘Alaq, 96:1-5).
Ayat tersebut di atas mengandung perintah bagi manusia untuk megenal Tuhannya, dan untuk mengetahui kewajiban manusia di sini diperlukan adanya pendidikan. Karena dengan pendidikanlah manusia bisa menjadi manusia seutuhnya.
     Sejarah juga mencatat, ketika Perang Badar, banyak dari kaum Quraisy yang kalah dalam peperangan akhirnya menjadi tawanan. Rasulullah Saw akan membebaskan tawanan itu, jika mereka mau mengajarkan membaca dan menulis kepada sepuluh umat Islam.
     Catatan sejarah itu menunjukkan begitu besarnya perhatian Nabi dalam upaya memerangi kebodohan dan keterbelakangan, atau demikian ini menunjukkan, bahwa Nabi Muhammad merupakan sosok yang peduli terhadap masalah pendidikan. Perhatian ini dimaksudkan agar umat Islam tidak menjadi kaum yang marginal, tidak tergilas derasnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan sangat cepat yang mewarnai seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam rangka mengimbangi perkembangan IPTEK tersebut pemerintah telah menetapkan suatu kebijaksanaan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi setiap warganya. Pencapaian kualitas pendidikan merupakan langkah yang harus dilakukan dengan usaha peningkatan kemampuan professional yang dimiliki oleh guru. Utamanya guru pendidikan agama Islam.
     Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena itu, manusia merupakan kekuatan sentral dalam pembangunan, sehingga mutu dan sistem pendidikan akan dapat ditentukan keberhasilannya melalui peningkatan motivasi belajar siswa.
     Kehidupan dan peradaban manusia di millenium ke-3 mengalami banyak perubahan. Dalam merespon fenomena itu, lembaga pendidikan berlomba dan berpacu mengembangkan kualitas pendidikan disegala bidang ilmu dan termasuk juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
     Era yang demikian memunculkan sebuah krisis dimensi spiritual dalam kehidupan individu, masyarakat bahkan pada sektor yang lebih luas berbangsa dan bernegara.
     Ahli Tafsir kenamaan M. Quraish Shihab (1992:21) berpendapat dalam buku Mizan, bahwa,
     Substansi model pendidikan yang menekankan keunggulan manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Manusia  yang  dibina  adalah  makhluk   yang memiliki  unsur-unsur  material  (jasmani)  dan  imaterial  (akal  dan  jiwa). Pembinaan  akalnya  menghasilkan  ilmu, pembinaan  jiwanya  menghasilkan kesucian  dan  etika,  sedangkan  pembinaan  jasmaninya  menghasilkan keterampilan.
     Dengan  penggabungan  unsur-unsur  tersebut,  terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat,  ilmu dan iman. Hal itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya. Beliau merupakan salah satu pakar  di  Indonesia yang dalam karya-karyanya membahas masalah keIslaman (keagamaan), yang diantaranya tentang kependidikan.

Di Indonesia saat ini, kita bersyukur sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya, melepaskan adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa Islam jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut al-Qur'an dan al-Hadits.
Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme, informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah Mistis,  koran Merapi, majalah Liberty.
Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya akan kekuatan dan kekuasaan Allah Swt. Meskipun tidak semua tayangan dan pemberitaan tersebut negatif.
Ketakutan kita pada hal-hal yang berbau menyekutukan Allah Swt inilah yang mendasari pentingnya pendidikan agama dalam setiap individu, karena realita saat ini banyak orang yang mengaku Islam, namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya.
Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya.
Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya, dan sebagai akibat dari perbuatan tersebut, biasanya ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Sebagai mana firman Allah Swt dalam Quran Surat Yusuf ayat 106:
$tBur ß`ÏB÷sムNèdçŽsYò2r& «!$$Î/ žwÎ) Nèdur tbqä.ÎŽô³B ÇÊÉÏÈ
  
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS, Yusuf, 12:106).
Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Karena Salah satu tujuan pendidikan dalam Islam adalah bagaimana kita mendekatkan diri dan menjalankan segala yang di perintahkan oleh Allah Swt, serta menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Kalau kita melihat pada sejarah apa yang menjadi tujuan Allah Swt mengutus para Nabi-Nya ke dunia ialah agar manusia tauhid kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an Surat at-Taubah: 31:
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ  
       “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS, At-Taubah: 31)

Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, karena dari pemahaman tentang tauhid itulah keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keIslaman seseorang. Allah Swt berfirman dalam Quran Surat al-Ikhlas ayat 1-4 yang berbnyi:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  

1). Katakanlah, "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4). dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS, Al-Ikhlas,112:1-4).
Karena tauhid saat ini tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.
Penting saat ini untuk lebih waspada terhadap perbuatan yang mengandung unsur syirik, dalam cara meningkatkan ketauhidan inilah lembaga pendidikan dianggap salah satu formulasi terbaik, hal ini dibuktikan dengan makin berkembangya lembaga pendidikan Islam.
Atas dasar ini lah penulis tertarik untuk membahasnya dengan judul Fungsi Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Ketauhidan Peserta Didik Yang Terkandung Dalam Surat Al-Ikhlas (Studi Analisis Terhadap Tafsir Ibnu Katsir).

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan diatas, maka perlu kiranya diberikan suatu rumusan masalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan penelitian. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai beikut:
                          1.       Bagaimana penafsiran al-Qur'an surat al-Ikhlas menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir ?
                          2.       Bagaimana isi kandungan al-Qur'an surat al-Ikhlas ?
                          3.       Bagaimana fungsi pendidikan Islam dalam  meningkatkan ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas menurut syaikh Hafidz Ibnu Katsir ?

C.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas, maka penelitian penulisan dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui penafsiran al-Qur'an surat al-Ikhlas menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir.
2.      Untuk mengetahui isi kandungan al-Qur'an surat al-Ikhlas.
3.      Untuk mengetahui  fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas menurut syaikh Hafidz Ibnu Katsir.
D.      Kegunaan Penelitian
Arikunto (2006 : 32), dalam bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, mengemukakan bahwa, “Syarat terpenting dalam penelitian adalah penelitian itu memberikan hasil yang berguna. Penelitian adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya. Penelitian akan menjadi suatu hal yang sia-sia jika seseorang melakukan penelitian yang hasilnya tidak memiliki kegunaan”.
Lebih lanjut, dikemukakan oleh Lembaga Penilitian dan Pengembangan (LPP) IAID Ciamis (2001 : 9) mengemukakan bahwa “Kegunaan penelitian menyatakan kemungkinan pemanfaatan yang bisa dipetik, dan secara umum diarahkan pada dua jenis kegunaan yang bersifat ilmiah dan kegunaan yang bersifat praktis”.
Dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik secara ilmiah maupun praktis.
1.      Kegunaan secara ilmiah dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi khazanah keilmuan, serta dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan pendidikan.
2.      Kegunaan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi   masukan pengetahuan, pemahaman, terutama bagi para guru karena ia senantiasa menjadi pigur bagi peserta didiknya, maka guru diharapkan mampu menampilkan kepribadian yang mulia dalam setiap tindakan guna memberikan ketauladanan yang baik bagi peserta didik dalam proses pendidikan, agar tujuan dari pendidikan tersebut dapat tercapai.

E.       Langkah-langkah Penelitian
Suryabrata (2004 : 11-12), dalam bukunya Metodologi penelitian mengemukakan bahwa:
Penelitian adalah suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapat pemecahan masalah atau mendapat jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu. Langkah-langkah yang dilakukan itu harus serasi dan saling mendukung satu sama lain agar penelitian yang dilakukan itu mempunyai bobot yang cukup memadai dan memberikan kesimpulan-kesimpulan yang tidak meragukan.

                1.       Waktu Penelitian
Waktu penelitian direncanakan dapat selesai dalam waktu tiga bulan, yaitu mulai dari tanggal 2 Agustus 2013 sampai 30 Oktober 2013 dengan daftar jadwal sebagai berikut :
Tabel I
No
Kegiatan
Bulan
Agustus
September
Oktober
Minggu ke
Minggu ke
Minggu ke
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
1
Persiapan












a. Pengumpulan data
*
*
*








b. Penlisan proposal

*
*
*







c. Seminar proposal




*






2
Penyusunan skripsi





*

*

*

3
Bimbingan dan Revisi






*

*


4
Pelaporan









*

5
Sidang Munaqasyah










*



                2.       Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara yang ditempuh oleh seseorang sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Suatu aktifitas akan dapat berjalan sebagaimana rencana semula apabila menggunakan metode yang tepat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1995 :310) dalam buku yang berjudul Manajemen Penelitian. “Dimana penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan”.
     Hal ini sesuai dengan pendapat Lexy J. Moleong (2004:8-12) dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif, yang menyatakan bahwa “Istilah deskriptif sebagai karakteristik dari pendekatan kualitatif karena uraian datanya lebih bersikap deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, menganalisis data secara induktif dan rancangan yang bersifat sementara serta hasil penelitian yang dapat dirundingkan”.
“Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Di mana data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis)”. (Suryabrata, 1983: 94).
Berdasarkan penjelasan dari pendekatan di atas, tentang pendekatan kualitatif, penelitian ini merupakan penelitian tokoh. Maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan atau library research, yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.
Sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh M. Iqbal Hasan (2002:11), dalam bukunya Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, bahwa skripsi yang semisal ini adalah library research, “Dimana data yang dipakai dalam penulisan adalah bersumber dari literatur yang diambil dari dokumen atau buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini”.
Penelitian kepustakaan tersebut terpusat pada menganalisis fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas (112) ayat 1-4 menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir disertai buku-buku lain yang berkaitan dengan konsep di atas.
           3.       Teknik Pengumpulan Data
            Karena penelitian ini berbentuk library research, maka dalam mengumpulkan data menggunakan metode dokumentasi. Suharsimi menjelaskan bahwa “Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen dan sebagainya” (Arikunto, 2002:206).
      Menurut Suharsimi Arikunto (2002:206) dalam bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Menyatakan bahwa data yang dipakai dalam penelitian library reseach ini dapat dikelompokan menjadi dua, yakni:
     1. Sumber primer. Adalah berupa karya-karya yang ditulis langsung oleh Syaikh Hafidz Ibnu Katsir yang berhubungan dengan fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan ketauhidan peserta didik yang terkandng dalam al-Qur'an Surat al-Ikhlas, yang berupa tafsir, buku-buku, teks, dan karya ilmiah lainnya.
     2. Sumber sekunder. Adalah mencakup kepustakaan yang berwujud buku-buku penunjang, jurnal dan karya-karya ilmiah lainnya yang di tulis atau diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji yang membantu penulis berkaitan dengan pemikiran yang dikaji.
     Untuk pengumpulan data penulis menggunakan data primer dan sekunder, yang menjadi Data Primer dalam penelitian ini adalah al-Qur'an dan terjemahnya, serta Tafsir Ibnu Katsir dan literatur lain
                          4.       Teknik Analisis Data
Masri Singarimbun (1995 : 263), dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Survai mengemukakan bahwa, “Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan”.
Analisis dalam penelitian merupakan bagian dalam proses penelitian yang sangat penting, karena dengan analisa inilah data yang ada akan nampak manfaatnya terutama dalam pemecahan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian.
Klasifikasi data sebagai awal mengadakan perubahan dari data mentah menuju pada pemanfaatan data sehingga dapat terlihat kaitan satu dengan lainnya, juga tindakan ini sebagai awal penafsiran untuk analisis. Kegiatan klasifikasi menuju pada proses analisis dilakukan dengan cara mencocokan pada permasalahan pokok penelitian yang menjadi tujuan akhir. (Subagyo, 2004 : 105).

            Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh penulis dari berbegai macam sumber. Dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan, bentuk teknik dalam teknik analisis data adalah dengan menggunakan analisis deskriptif.
     Burhan Bungin (2007:231-232), dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif Akulturasi Metodologis Kearah Ragam Varian Kontemporer, mendefinisikan analisis isi (content analysis) adalah:
     Teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajegan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi interaksi simbolik yang terjadidalam komunikasi.

     Pada hakikatnya, analisis isi ini adalah salah satu model analisis yang digunakan peneliti dalam mengungkap, mengetahui, dan memahami isi dari literatur yang sudah dibaca. Dengan begitu, penulis akan dengan mudah menempatkan data mana yang sesuai dengan kebutuhan penulisan dan penelitian.
“Analisis deskriptif yaitu metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyususun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut” (Surahmad, 1990: 139).
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat dikatakan bahwa analisis deskriptif adalah analisis yang menggambarkan dan menjelaskan data-data yang dikumpulkan. Adapun data yang dimaksud adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif.
Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data dan pengolahan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut, kemudian penulis memberikan penyimpulan dari masing-masing kutipan data yang diambil dari sumber tersebut.
Dengan demikian setelah data-data dari berbagai sumber dikumpulkan, maka penulis menganalisis data-data tersebut dengan menggunakan teknik analisis data interaktif model of analisis, yaitu teknik analisis data yang terdiri dari tiga komponen, yakni : 1) reduksi data, 2) sajian data, 3) penarikan kesimpulan (Thoyyar, 2007 : 127).
BAB II
LANDASAN TEORETIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A.      Tinjauan Pustaka
Dalam  penulisan ini, penullis akan merumuskan landasan teoritis yang akan digunakan dalam mengkaji permasalahan yang telah dirumuskan, karena teori merupakan pijakan bagi penulis untuk mengetahui persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai kerangka berfikir ilmiah. Huzni Thoyyar menjelaskan “ Landasan teoritis amat penting bagi sebuah penelitian, terutama agar suatu penelitian memiliki landasan yang kokoh dan tidak sekedar coba-coba ( trial and eror ). Untuk itulah perlu dilakukan telaah kepustakaan” (Thoyyar, 2007 : 112).
1.      Pengertian Pendidikan Islam
1.1    Pengertian Pendidikan
            Suparlan Suhartono, dalam buku Filsafat Pendidikan, (2007:77) mengatakan bahwa:
      Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris education, berasal dari basaha latin educare, yang dapat diartikan pembimbingan keberlanjutan (to lead forth). Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi kegenerasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.
      Secara teoritis, ada pendapat yang mengatakan bahwa bagi manusia pada umumnya, pendidikan berlangsung sejak 25 tahun sebelum kelahiran. Pendapat itu dapat diartikan bahwa sebelum menikah, ada kewajiban bagi siapapun untuk mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik anak keturunannya.
      Secara praktis ada yang berpendapat bagi manusia individual, pendidikan dimulai sejak bayi lahir dan bahkan sejak masih didalam kandungan. Memperhatikan kedua pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa keberadaan pendidikan melekat erat pada dan didalam diri manusia sepanjang zaman.

     Definisi diatas menggambarkan bahwa pada hakikatnya pendidikan dilaksanakan jauh dari masa kelahiran. Dimana sebelum dan sesudah lahir, manusia ditunutut untuk melaksanakan proses pendidikan. Semua manusia dimanapun berada mendapatkan kewajiban untuk menuntut ilmu. Karena hanya dengan ilmulah derat manusia akan diangkat oleh Allah Swt.
     Sedangkan Ahmad Tafsir (2005:28 ), dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam mendefinisikan pendidikan secara luas, yaitu:
     “Pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”, dengan catatan bahwa yang dimaksud “pengembangan pribadi” sudah mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain.
     Sedangkan kata “semua aspek”, sudah mencakup jasmani, akal, dan hati. Dengan demikian tugas pendidikan bukan sekedar meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik.
     Definisi inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah tarbiyah, dimana peserta didik bukan sekedar orang yang mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Oleh karena itu tidak dapat diidentikkan dengan pengajaran.

Menurut Abdul Mudjib (2008 : 12), dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, mengatakan  pendidikan juga disebut sebagai tarbiyah yang dapat diartikan sebagai "Proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian yang luhur".
     Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia pasal 1 angka 1 nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS (2006:72) menegaskan bahwa,
     Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Telah banyak ahli yang membahas definisi pendidikan, tetapi dalam pembahasannya mengalami kesulitan, karena antara satu definisi dengan definisi yang lain sering terjadi perbedaan.
Dalam buku Pengantar Filsafat Pendidikan Islam Ahmad D Marimba (1980: 29) menjelaskan, “Pendidikan adalahbimbingan atau didikan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik terhadapperkembangan anak didik, baik jasmani maupun rohani, menuju terbentuknyakepribadian yang utama”.
Definisi ini sangat sederhana meskipun secara substansial telah mencerminkan pemahaman tentang proses pendidikan. Menurut definisi ini, pendidikan hanya terbatas pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik.
Sedangkan Ahmad Tafsir (2008:88), dalam buku Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, mendefinisikan pendidikan secara luas, yaitu: “Pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”.
Muhammad Suyudi (2005:52), dalam buku Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur`an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani, menjelaskan bahwa yang dimaksud “Pengembangan pribadi sudah mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek”, sudah mencakup jasmani, akal, dan hati”.
Dengan demikian tugas pendidikan bukan sekedar meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik.
Definisi inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah tarbiyah, dimana peserta didik bukan sekedar orang yang mampu berfikir, tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Oleh karena itu tidak dapat diidentikkan dengan pengajaran.
Pada hakikatnya para pakar atau tokoh dalam mendefinisikan pendidikan harus dilihat pada setting sosial yang terjadi pada waktu itu, karena definisi tentang pendidikan yang mereka ungkapkan adalah mencakup kondisi dan tuntutan sosial pada waktu itu, maka jelas banyak definisi pendidikan yang berbeda antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Akan tetapi pada hakikatnya tujuan yang mereka inginkan adalah sama, yakni ingin memanusiakan manusia.
Dalam referensi yang lain M. Djumransjah (2004:22), dalam buku Filasafat Pendidikan, disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarkat dan kebudayaan”.
Paragaraf definisi diatas lebih menekankan pada pengembangan potensi peserta didik. Karena mereka yakin bahwa manusia diciptakan dengan segala kemampuan dan kekurangan, maka sudah barang tentu tugas dan tujuan lembaga pendidikan adalah memaksimalkan potensi yang diberikan Tuhan kepada peserta didik. Dengan demikian, peserta didik akan mampu mengembangkan dan mengeksplorasikan bakat dan potensi yang dimilikinya.
Dari definisi yang sudah diungkapkan oleh para ahli, secara umum dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu definisi secara sempit yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk anak dan hanya dilakukan oleh lembaga atau institusi khusus dalam rangka mangantarkan anak didik pada kedewasaan, sedangkan definisi pendidikan secara luas dimana pendidikan berlaku untuk semua orang dan dapat dilakukan oleh semua orang bahkan oleh lingkungan. Tetapi dari perbedaan tersebut ada kesamaan tujuan yaitu untuk mencapai kebahagiaan dan nilai tertinggi.
Dengan demikian, definisi-definisi tersebut dapat diverbalisasikan dalam sebuah definisi yang komperhensif bahwa, pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan kepribadian baik jasmani maupun rohani, secara formal, informal maupun nonformal yang berjalan terus menerus untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tertinggi, baik nilai insaniyah maupun ilahiyah.
1.2Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan atau al-Tarbiyah, menurut pandangan Islam merupakan bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Allah adalah rabb al-‘alamin, juga rabb al-nas. Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam, M. Arifin (1987: 13), menyebutkan arti pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Omar Muhammad at- Toumy al-syaebany, ‘Pendidikan Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan’.
     Sedangkan dalam buku Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasasi Menuju Millennium Baru, Azyumardi Azra menyebutkan arti pendidikan Islam sebagai berikut:
     Menurut Yusuf al-Qardhawi “Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal, dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai dan menyipkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.

Sedangkan al-Rasyidin dan Syamsul Nizar (2005: 31-32), dalam buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan pengertian pendidikan Islam menurut para ahli secara terminologi yaitu:
Al-Syaibani, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai satu aktivitas asasi dan profesi Siantar sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dalam kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatan.
Ahmad D. Marimba, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan  kamil).
Ahmad Tafsir, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oceh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.

     Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan agama Islam merupakan bimbingan secara sadar dan terus-menerus dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar) baik secara individual maupun secara kelompok sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan benar meliputi; aqidah (keimanan), syariah (ibadah dan muamalah), dan akhlak (budi pekerti).
2.      Fungsi Pendidikan Islam
Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam al Rasyidin dan Samsul Nizar (2005 : 32), mengatakan secara umum “Fungsi pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal”.
Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikutif oleh Majid 'Irsan al-Kailani, "tugas pendidikan Islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabi’at peserta didik". (Mudjib,2008 : 51).
Berkenaan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam, Djawad Dahlan (1993) berpendapat bahwa dalam ajaran islam terdapat dua konsep ajaran Rasulullah Saw yang maknanya sangat padat dan memiliki kaitan erat dengan tujuan pendidikan islam yaitu iman dan takwa. Kedua konsep ini tidak bias dipisahkan. Untuk itu pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai derajat iman dan takwa (Syahidin, 2005 : 14).

Lebih lanjut Abdul Mudjib ( 2008 : 52), dalam buku Ilmu Pendidikan Islam,  menyatakan untuk menelaah tugas-tugas pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu : “(1) pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi, (2) pendidikan dipandang sebagai pewarisan budaya, (3) pendidikan dipandang sebagai interaksi antara pengembangan potensi dan pewarisan budaya”.
Dalam buku Ilmu Pendidikan, Abu Ahmadi (2008 : 33-36) mengatakan ada tiga fungsi pendidikan yaitu:
Mengembangkan  wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan kreativitas dan produktivitas.
Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun kehidupannya sehingga keberadaannya baik secara individual maupun sosial lebih bermakna.
Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun sosial.
Secra lebih lanjut Abu Ahmadi menjelaskan fungsi pendidikan Islam ialah:(1. Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitar dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta memahami hokum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini, akan menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan "Pencipta".
(2. Membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia) baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
(3. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal yang diberikan al-Qur'an, sebagaimana tersebut pada butir pertama di atas, hendaknya dimulai dengan memahami fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga mengetahui hukum-hukumnya (Sunnah Allah).

Sedangkan dalam referensi lain Abdul Mujib (2008:69), dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, mengutip pendapat dari Kurshid Ahmad, yang menyebutkan fungsi pendidikan adalah sebagai berikut:
(1) alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan social, serta ide-ide masyarakat dan bangsa, (2) alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.

Sejalan dengan penentuan prioritas pembangunan, lebih-lebih pada bidang yang bersifat material, maka terdapat kecenderungan dalam bidang pendidikan untuk menjejalkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bidang material tersebut.
Kecenderungan ini sebenarnya bertujuan baik. Ia bermaksud menyesuaikan diri dengan iklim pembangunan dan kemajuan teknologi. Ia juga bermaksud memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga yang masih sangat kurang pada bidang-bidang tersebut.
Akan tetapi karena bahan-bahan yang diberikan umumnya bersifat ekstern dari inti kepribadian manusia, dengan sendirinya ciri pendidikan yang sangat nampak hanyalah lebih bersifat pengajaran. Sedangkan pada dasarnya pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang hanya terbatas pada upaya pengembangan intelektualitas manusia. Tugas pendidikan bukan melulu meningkatkan kecerdasan, melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia.
Pendidikan merupakan sarana utama untuk mengembangkan kepribadian manusia. Faktor tujuan mempunyai peranan penting dalam pendidikan Islam, sebab akan memberikan standar, arahan, batas ruang gerak, dan penilaian atas keberhasialan kegiatan yang dilakukan. Dalam merumuskan tujuan pendidikan, khusus untuk pendidikan Islam, “disesuaikan dengan kriteria dan karakter ilmu dalam Islam, yaitu terstruktur hierarkis dari tingkat konkreta sampai dengan illata” (Mulaiwan, 2005: 123).
Menurut Ahmad D. Marimba (1962:43), dalam buku Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, “Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir, ultimate aims of sducation. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti “terbentuknya kepribadian muslim”.
Tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan. Lebih lanjut Abu Ahmadi (2008: 95), dalam buku Ilmu Pendidikan merumuskan ada tiga tahapan tujuan pendidikan, yakni :
Tujuan tertinggi dan terakhir, tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi dan terakhir ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu : a) menjadi hamba Allah yang bertakwa, b) mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di bumi) yang mampu memakmurkannya. c) memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.
  Tujuan umum, berbeda dengan tujuan tertinggi dan terakhir yang lebih mengutamakan pendekatan filosofis, tujuan umum bersifat empiric dan realistic. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
  Tujuan khusus, ialah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi dan terakhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan  di mana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi dan tujuan umum. Pengkhususan tujuan tersebut didasarkan pada : a) kultur dan cita-cita suatu bangsa di mana pendidikan itu dilaksanakan, b) minat, bakat, dan kesanggupan subjek didik, c) tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.

     Sebagaimana dengan apa yang tertera dalam al-Qur'an telah dengan jelas-jelas mengingatkan manusia supaya jangan meninggalkan generasi yang lemah baik dalam keimanan, materi, kesehatan, maupun pendidikan sebagaimana dalam firman Allah Swt al-Qur'an Surat an-Nisa ayat 9:
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy ÇÒÈ
     “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya  meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (QS, An-Nisa, 4: 9)

3.      Pengertian Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab disebut dengan Tilmidz jamaknya adalah Talamid, yang artinya adalah murid, maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah Thalib, jamaknya adalah Thullab, yang artinya adalah mencari, maksudnya adalah “orang-orang yang mencari ilmu”.
Menurut Samsul Nizar (2002 : 25), dalam Filsafat Pendidikan Islam menjelaskan peserta didik secara definitif yang lebih detail, para ahli telah menuliskan beberapa pengertian tentang peserta didik. “Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memilki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan”.
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:26), dalam buku Ilmu Pendidikan juga menuliskan tentang pengertian peserta didik, “Peserta didik adalah orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan, bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat manusia, sebagai warga Negara, sebagai anggota masyarakat dan sebagai suatu pribadi atau individu”.
Dari definisi-definisi yang diungkapkan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang mempunyai fitrah (potensi) dasar, baik secara fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik.
Samsul Nizar, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis (2008:36), dalam karyanya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam yang mengklasifikasikan peserta didik sebagai berikut:
Peserta didik bukanlah miniature orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri. Peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan pertumbuhan. Peserta didik adalah makhluk Allah Swt yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

Dalam wibesite http://renizulianti.blogspot.com/2010/12/artikel-tentang-peserta-didik.html (diakses tgl. 15, 10, 2013) menerangkan bahwa peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperi siswa, mahasiswa, warga belajar, pelajar, murid serta santri.
Siswa adalah istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mahasiswa adalah istilah umum bagi peserta didik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi.
Warga Belajar adalah istilah bagi peserta didik nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Pelajar adalah istilah lain yang digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat menengah maupun tingkat atas. Murid memiliki definisi yang hampir sama dengan pelajar dan siswa.
Santri adalah istilah bagi peserta didik pada jalur pendidikan non formal, khususnya pesantren atau sekolah-sekolah yang berbasiskan agama islam.

Dalam wibe site http: //alenmarlissmpn 1 gresik .wordpress.com /2009 /12/  29 /hak –dan –kewajiban –peserta –didik –berdasarkan  -uu-no- 20-th-2003 (diakses tgl. 13, 10, 2013) dijelaskan bahwa  peserta didik mempunyai kewajiban, diantaranya yaitu menurut UU RI No. 20 th 2003: “Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. Ikut menanggung biaya pendidikan kecuali bagi yang dibebaskan dari kewajiban tersebut”.
Dalam wibesite http: // renizulianti .blogspot .com /2010 /12 /artikel-tentang-peserta-didik.html (diakses tgl. 10, 10, 2013) disebutkan bahwa:
Ibnu Zubeir, menambahkan, kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh peserta didik adalah jangan pernah meremehkan suatu ilmu yang telah diberikan.
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah Swt dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu: a).Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.b). Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan. c).  Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat. d).  Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya. e). Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.
Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :
Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih.
Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.

Menurut al-Rasyidin (2005 : 47) bahwa “peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan”.
     Dalam paradigma pendidikan Islam menurut Ahmad D. Marimba, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. (al-Rasyidin dan Nizar, 2005: 47).

 Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peserta didik adalah "Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu".
Jadi dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan mereka berusaha mengembangkan potensinya itu melalui proses pendidikan pada jalur dan jenis pendidikan tertentu.
Menurut Abdul Mudjib (2008 : 113) dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam tugas atau kewajiban peserta didik yang harus dilaksanakan diantaranya adalah memenuhi syarat-syarat kode etik, menurut pendapat al-Ghazali, yang dikutip oleh fhatiyah Hasan Sulaiman, merumuskan  sebelas pokok kode etik peserta didik yaitu :
     Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada kepada Allah Swt, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahali) (perhatikan Q.S Al-An’am : 162 dan Al-Dzariyat : 56).
     Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.s Ad-Dhuha : 4) artinya belajar tak semata-mata untuk mendapat pekerjaan tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik dihadapan manusia dan Allah Swt.
     Bersikap tawadlu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
     Menjaga fikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
     Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan ilmu tercela dapat menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antar sesama.
     Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardu 'ain menuju ilmu yang fardu kifayah ( Q.S Al-Insyiqaq : 19).
     Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (Q.S Al-Insyirah : 7).
     Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
     Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah Swt, sebelum masuk ilmu duniawi.
     Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan serta memberi keselamatan hidu dunia dan akhirat.
     Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik".
     "Menurut Ibnu Jama'ah yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams ad-Din etika peserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu : (1) terkait dengan diri sendiri, meliputi pembersihan hati, memperbaiki niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud (tidak materialistis), dan penuh kesederhanaan. (2) terkait dengan pendidik, meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan dan menghormatinya, senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya. (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu".



4.      Pengertian Ketauhidan
H.M.Yusran Asmuni (1993:1), dalam bku  Ilmu Tauhid, menjelaskan bahwa “Tauhid dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada (وحد) yuwahhidu (يوحد)”.
Jubaran Mas’ud (1967:972) dalam buku  Raid ath-Thullab, menerangkan secara etimologis, “Tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa;Tunggal;satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui akan  keesaan Allah;mengeesakan Allah”. Jubaran Mas’ud juga menulis bahwa tauhid bermakna “beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa”, juga sering disamakan dengan kata “tiada Tuhan selain Allah”.
Fuad Iqrami al-bustani (1986:905), dalam buku Munjid ath-Thullab,  juga menulis hal yang sama. Menurutnya tauhid adalah “Keyakinan bahwa Allah itu bersifat “Esa”. Jadi tauhid berasal dari kata “wahhada” (وحد) “yuwahhidu” (يوحد) “tauhidan” (توحيدا), yang berarti mengesakan Allah Swt.
              Dalam website http :// ridwan  202. wordpress.  com  / istilah - agama  / tauhid  (diakses tgl. 2, 10, 2013), penulis temukan pengertian tauhid menurut beberapa ahli, diantaranya :
Menurut Syekh Muhammad Abduh: Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan padaNya. Juga membahas tentang rasul rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka. Sedangkan menurut Husain Affandi al-Jars mengatakan: “Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan”.
Menurut Prof. M. Thahir A. Muin, Tauhid adalah ilmu yang meyelidiki dan membahas soal yang wajib, mustahi, dan jaiz bagi Allah dan bagi sekalian utusan-utusanNya, juga mengupas dalil-dalil yang mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan adaNya zat yang mewujudkan.

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid al Asma Was Shifat.
Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam website http: // muslim .or .id/ aqidah /makna-tauhid.html  (diakses tgl. 29, 09, 2013), yang mengartikan nama-nama tauhid sebagai berikut:
            Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll.
Dengan kata lain semua aktivitas alam semesta ini tidak terlepas dari kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Rabb. Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk mengurus alam ini, mengakui bahwa Dialah Rabbyang Esa, tunggal tidak ada Rabb selain Dia inilah yang disebut sebagai tauhid rububiyah.
Selanjutnya ketauhidan itu tidak hanya pengakuan bahwa Allah satu-satunya pencipta dan AIlah, namun ketauhidan tersebut harus sejalan dengan semua aktivitas seorang hamba, keyakinan tersebut harus diwujudkan melalui ibadah, amal sholeh yang langsung ditujukan kepada Allah Swt tanpa perantara serta hanya untuk Dialah segala bentuk penyembahan dan pengabdian, ketaatan  tanpa yang hanya tertuju kepadaNya syarat, inilah tauhid ubudiyah.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Tauhid Uluhiyah sebagaimana dijelaskan oleh Daud Rasyid ialah bahwa yang berhak dijadikan tempat khudhu’ atau ketundukan dalam beribadah serta ketaatan hanyalah Allah Swt yang berhak dipatuhi secara mutlak oleh hambanya bukan hamba yang berlagak sebagai “raja”.
Dijelaskan pula bahwa Tauhid al Hakimiyah ialah hanya Allah-lah yang berhak membuat ketentuan, peraturan, dan hukum.Meskipun mungkin konsep ini sudah terkandung dalam pengertian Uluhiyah namun ulama kontemporer tetap memisahkannya dengan tujuan menonjolkan kehakimiyahan Allah Swt.
Ketauhidan ini harus dimiliki oleh setiap muslim, oleh sebab itu ditanamkan kepada para generasi penerus karena tanpa tauhid semuanya akan hancur, baik masa depan agama maupun bangsa. Pendidikan ketauhidan perlu ditanamkan sejak dini. Awal kehidupan serta lingkungan pertama dan utama yang dikenal anak adalah keluarga.
Keluarga dapat disebut sebagai unit dasar serta unsur yang fundamental dalam masyarakat, karena dengan keluarga kekuatan-kekuatan yang tersusun dalam komunitas sosial dirancang di dalamnya. Nabi Muhammad Saw memandang keluarga sebagai struktur yang tak tertandingi dalam masyarakat, beliau sendiri memberikan contoh teladan dalam masalah ini, serta menganjurkan umatnya untuk mengikuti dan melestarikan tradisi mulia dan agung ini, disamping itu sebuah perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai salah satu prinsip moral yang paling penting dalam pandangan Islam.
Tauhid al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam al-Qur'an dan Hadits Rasulullah. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif.

Tauhid akan membuat jiwa tenteram, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan. Selain  itu, tauhid juga berpengaruh untuk membentuk sikap dan perilaku anak. Jika tauhid tertanam dengan kuat, ia akan menjadi sebuah kekuatan batin yang tangguh. Sehingga melahirkan sikap positif.
Optimisme akan lahir menyingkirkan rasa kekhawatiran dan ketakutan kepada selain Allah. Sikap yang positif dan perilaku positif akan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan sehari-hari. Maka benar jika keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian diyakini namun juga harus tercermin dalam perilaku seorang muslim. Ketauhidan yang telah terbentuk menjadi pandangan hidup seorang anak akan melahirkan perilaku yang positif  baik ketika sendirian maupun ada orang lain, karena ada atau tidak ada yang melihat, anak yang memiliki ketuhidan yang benar akan merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam penglihatan dan pengawasan Allah, sehingga amal dan perilaku positif yang dilakukan benar-benar karena mencari ridho Allah Swt.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh para pelaku dinia pendidikan Islam, karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang benar, dan bertakwa kepada Allah Swt, yang dihiasai dengan akhlak dan perilaku positif, sehingga pesserta didik yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal yang positif.
Hal-hal yang dapat bermanfaat baik untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya, agamanya, bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari anak yang bertauhid hanyalah mencari ridho Allah Swt, bukan mencari sesuatu yang bersifat duniawi.
1.1    Dasar Dan Tujuan Pendidikan Tauhid
Ali Abdul Halim Mahmud (1996:27), dalam buku Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah Serta Harrakah mengatakan bahwa,“al-Qur'anul Karim , Sunnah Nabi Muhammad Saw, serta penalaran serta perenungan yang sehat terhadapnya merupakan asas atau sumber pokok akidah Islamiyah”.
Karena membicarakan dasar pendidikan Islam berarti membicarakan dasar syari’at  Islam yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Abdurrahman Abdullah (2002:64 ), dalam buku Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonstruksi Pemikiran Dalam Tinjauan Filosofis Pendidikan Islam mengatakan bahwa Dasar-dasar pendidikan tauhid dalam al-Qur'an antara lain :
a.    Surat At Tahrim (66) ayat 6 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS, At Tahrim, 66:6).

b.   Surat Luqman(31) ayat 13 :
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ÎŽtIô±tƒ uqôgs9 Ï]ƒÏysø9$# ¨@ÅÒãÏ9 `tã È@Î6y «!$# ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ $ydxÏ­Gtƒur #·râèd 4 y7Í´¯»s9'ré& öNçlm; Ò>#xtã ×ûüÎgB ÇÏÈ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (QS, Luqman, 31:13).
Setelah mengetahui dasar pendidikan tauhid, dapat kita lihat bahwa Al-Qur'an ternyata memberikan statemen yang jelas dan tegas tentang pendidikan perlunya pendidikan tauhid.
Selanjutnya ialah tentang tujuan pendidikan tauhid, membicarakan tujuan pendidikan tauhid tidak terlepas dari tujuan pendidikan Islam karena pendidikan tauhid adalah bagian dari pendidikan Islam itu sendiri. Oleh sebab itu sebelum kita membicarakan tujuan pendidikan tauhid kita perlu mengetahui tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu.
“Tujuan pendidikan Islam akan terlihat jelas jika kita melihat defenisinya kembali. Tujuan adalah salah satu faktor yang harus ada dalam setiap kegiatan begitu pun dalam kegiatan pendidikan, termasuk aktivitas pendidikan Islam.Tentunya tujuan tersebut terwujud setelah seseorang mengalami proses pendidikan Islam secara keseluruhan”.(Tauhid, 1990:23).
Sayid Sabiq (tt:23-24), mengatakan dalam buku Aqidah Islam : Pola Hidup Manusia Beriman bahwa:
“Tujuan pendidikan Islam ialah untuk menyiapkan manusia yang bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk masyarakat”. Sedangkan Muhammad Athiyah al Abrasyi memiliki konsep yang berbeda yakni ‘mempersiapkan individu agar dapat hidup dalam kehidupan yang sempurna sebagai sosok yang berkepribadian al-fadhilah atau insan kamil’. Anwar Jundi, memiliki bahasa konsep yang lain, menurutnya ‘tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berpribadi muslim’.

Mahmud Yunus (tt:23), dalam buku Metodik Khusus Pendidikan Agama menyatakan bahwa tujuan pendidikan  dalam bidang keimanan ialah :
a). Agar memiliki keimanan yang teguh kepada Allah, Rasul-rasul, Malaikat, hari akhir, dan lain sebagainya. b). Agar memiliki keimanan berdasarkan kepada kesadaran dan ilmu pengetahuan, bukan sebagai “pengikut buta” atau taklid semata-mata. c). Agar keimanan itu tidak mudah rusak apalagi diragukan oleh orang-orang yang beriman.

Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan (1998:239), dalam buku Filsafat Pendidikan Islam, mengutip pendapat dari al Ghazali tenteng tujuan pendidikan keimanan yaitu:
Agar anak didik menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya. Melatih diri untuk mendekatkan diri (bertakarrub) kepada Allah, membentuk kepribadian yang sempurna dengan bimbingan taufik serta nur ilahi agar terbuka jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ali Abdul Halim Mahmud (1996: 45-48), daam buku Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah Serta Harakah,mengtkan bahwa tujuan dari pendidikan ketuhidan adalah sebagai berikut:
Menurut Abdullah Nashih Ulwan tujuan pendidikan keimanan adalah agar anak mempunyai tanggungjawab, jujur, jiwa kemanusiaan yang tinggi, berakhlak mulia, dan membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan.
Menurut M. Saleh tujuan pendidikan ketauhidan adalah : Menanamkan rasa cinta kepada Allah. Bersyukur kepada Allah. Mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah. Mencintai para Rasul-Nya. Meyakini hal-hal gaib.
Abdurrahman An-Nahlawi merumuskan tujuan pendidikan ketauhidan agar : Ikhlas beribadah kepada Allah. Mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah. Menjauhi yang dilarang Allah, seperti syirik dan segala hal yang dapat mengalihkan ketauhidan dan mengaburkan tujuan pendidikan.

1.2    Fungsi Pendidikan Tauhid
Dalam website http :// ridwan  202. wordpress.  com  / istilah - agama  / tauhid (diakses tgl. 04, 10, 2013), dikatakan bahwa fungsi merupakan bentuk operasional dari sebuah tujuan, sehingga kita dapat melihat fungsi pendidikan tauhid dengan menganalisis tujuan dari pendidikan tauhid. Fungsi pendidikan tauhid adalah sebagi berikut:
Yusron Asmuni menyebutkan bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga adalah berfungsi untuk :Memberikan ketentraman dalam hati anak. Menyelamatkan anak dari dari kesesatan dan kemusyrikan. Membentuk perilaku dan kepribadian anak, sehingga menjadi falsafah dalam kehidupannya.
Dari penjelasan yang diuraikan oleh Abdurrahman an-Nahlawi,  dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga memiliki beberapa fungsi agar : Anak dapat beribadah kepada Allah secara ikhlas. Anak dapat mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah. Anak dapat menjauhi hal-hal yang dilarang Allah seperti syirik dan semua hal yang dapat menghancurkan ketauhidan.
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak menerima pendidikan tauhid. Dengan menanamkan kepada anak bahwa dirinya selalu berada dalam perlindungan dan kekuasaan Allah yang Maha Esa. Sehingga dengan proses yang panjang anak akan selalu mengingat Allah Swt.
Pendidikan tauhid dalam keluarga juga membuat anak mampu memiliki keimanan berdasarkan kepada pengetahuan yang benar, sehingga anak tidak hanya mengikuti saja atau “taklid buta”. Dengan mengajarkan ketauhidan yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits, maka ketauhidan yang terbentuk dalam jiwa anak disertai dengan ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada argumen-argumen dan bukti-bukti yang benar, serta dapat dipertanggungjawabkan.

Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan sehari-hari. Maka benar jika keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian diyakini namun juga harus tercermin dalam perilaku seorang muslim.
Ketauhidan yang telah terbentuk menjadi pandangan hidup seorang anak akan melahirkan perilaku yang positif  baik ketika sendirian maupun ada orang lain, karena ada atau tidak ada yang melihat, anak yang memiliki ketuhidan yang benar akan merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam penglihatan dan pengawasan Allah, sehingga amal dan perilaku positif yang dilakukan benar-benar karena mencari ridho Allah Swt.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh pendidik ataupun para orang tua, karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang benar, dan bertakwa kepada Allah Swt, yang dihiasai dengan akhlak dan perilaku positif, sehingga anak-anak yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal yang positif.
Hal-hal yang dapat bermanfaat baik untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya, agamanya, bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari anak yang bertauhid hanyalah mencari ridho Allah Swt, bukan mencari sesuatu yang bersifat duniawi.

B.       Kerangka Pemikiran
Pendidikan tauhid bagi peserta didik menuntut kemampuan pengetahuan dan wawasan dari lembaga pendidik yang luas. Karena lembaga pendidikan sebagai pendidik utama dalam konsep ini. Lembaga pendidikan harus memiliki pengetahuan Islam yang terintegral untuk melaksanakan konsep pendidikan tauhid dalam kehidupan sehari-harinya, selain penguasaan terhadap materi-materi ketauhidan dan metodenya. Selain itu metode yang digunakan harus bertahap, sehingga sesuai antara metode, materi, dan kemampuan peserta didik.
Pendidikan tauhid dalam menempati posisi terpenting dalam pendidikan keluarga sebagai landasan dan tujuan dari pendidikan lain yang terintegral di dalamnya. Seperti pendidikan akhlak dan pendidikan ibadah. Pendidikan tauhid sebagai ruh dari pendidikan-pendidikan lain, namun pendidikan tauhid memerlukan bantuan materi-materi pendidikan lain untuk mengantarkan ruh dan tujuan tauhid. Sehingga peserta didik akan melakukan seluruh aktivitas kehidupannya dengan landasan ketauhidan yang mantap.
Allah Swt berfirman dalam Quran Surat Al-Ikhlas:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  
1). Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4). dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS, Al-Ikhlas, 112: 1-4).
Berdasarkan ayat di atas, Allah Swt memerintahkan manusia supaya mengesakan-Nya, tidak menyekutukan-Nya, karena tidak ada mahluk yang mampu menandingi-Nya bahkan menyamai-Nya sekalipun.
Sebagaimana Baginda Nabi Muhammad Saw, diutus ke dunia ini salah satunya adalah menyeru manusia supaya kembali bertauhid kepada Allah Swt. Hal ini beliau tunjukan melalui ahlaqul karimahdalam kepribadiannya sehari-hari.
Begitupun dalam dunia pendidikan, seorang guru harus mencontoh  keteladanan Rasulullah Saw. Karena  sebagaimana tujuannya  pendidik adalah memberikan keteladanan yang baik bagi peserta didiknya, pendidik adalah cermin bagi peserta didik, semua yang dilakukan pendidik akan ditiru oleh peserta didik. Pendidik harus berhati-hati dalam bersikap karena peserta didik akan selalu menilai semua sikap dan perilaku pendidik.
Dalam Islam. pendidikan bertujuan untuk membina dan membentuk perilaku atau akhlak peserta didik dengan cara meningkatkan keimanan, keta kwaan, pemahaman, penghayatan, serta pengamalan peserta didik terhadap ajaran Islam. Sehingga setelah menyelesaikan pendidikan, peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan bernegara.
Maka dari itu, dalam proses pendidikan guru sebagai cerminan siswa dalam setiap tindakan, guru diharapkan menampilkan ketauladanan bagi anak-anak didiknya agar mereka dengan benar mengikuti keteladanan baik tersebut kelak mereka akan menemukan identitas kepribadiannya yang mantap penuh dengan keimanan dan ketakwaan disertai dengan keindahan akhlak yang dimilikinya.
Pendidikan tauhid juga sebagai sebuah proses, oleh sebab itu hasil dari pendidikan tauhid tidak dapat dilihat langsung hasilnya. Namun berkembang secara terus menerus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Pendidikan tauhid harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus.
Guru  tidak boleh putus asa dan menyerah, apalagi sampai menghentikan pendidikan ini. Jika berhenti maka prosespun akan berhenti. Guru harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pendidikan tauhid peserta didik. Rasa tanggungjawab akan menjadi motor penggerak untuk memperhatikan dan memikirkan pendidikan tauhid untuk peserta didiknya.
Sejalan dengan perintah ayat di atas yang disinkronkan dengan Fungsi pendidikan nasional dituangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 3 yang berbunyi,“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka pendidikan di Indonesia haruslah mengacu pada konsep tauhid yang tertera dalam Quran Surat Al-Ikhlas.
Secara lebih jelas kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat dalam skema berikut:
Tabel II
QS.Al-Ikhlas (112):1-4
Dalam Persfektif  syaikh Hafidz Ibnu Katsir
Fungsi Pendidikan Islam
Ketauhidan peserta didik yang berkualitas tinggi
Peserta Didik
 





















No comments: