Kata Kunci
Pendidikan
Islam, Ketauhidan, Peserta Didik
A. Pendahuluan
Manusia
adalah salah satu mahluk ciptaan Allah swt, manusia adalah mahluk yang sempurna
di banding mahluk-mahluk lain ciptaanNya. Pada diri manusia, Allah swt
memberikan banyak potensi diantaranya adalah potensi akal, hati, dan hawa
nafsu, hal ini yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Qur'an Surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." (QS, al-Baqarah, 2: 30)
Oleh
karena itu, untuk menunjang amanat yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia
sebagai khalifah di muka bumi, maka ada kewajiban bagi manusia untuk menuntut
ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan
sangat cepat yang mewarnai seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam rangka
mengimbangi perkembangan IPTEK tersebut pemerintah telah menetapkan suatu
kebijaksanaan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi setiap warganya.
Pencapaian kualitas pendidikan merupakan langkah yang harus dilakukan dengan
usaha peningkatan kemampuan profesional yang dimiliki oleh guru. Utamanya guru
pendidikan agama Islam. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam
meningkatkan kualitas manusia.
Di Indonesia saat ini, kita bersyukur
sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya, melepaskan
adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa Islam jika
budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut al Qur'an dan al Hadits.
Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan
batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak
dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu
mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini
sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai
disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme,
informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan
ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan
cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah
Mistis, koran Merapi, majalah Liberty.
Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun
diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan
gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak
sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya
akan kekuatan dan kekuasaan Allah swt. Meskipun tidak semua tayangan dan
pemberitaan tersebut negatif.
Ketakutan kita pada hal-hal yang berbau menyekutukan
Allah swt inilah yang mendasari pentingnya pendidikan agama dalam setiap
individu, karena realita saat ini banyak
orang yang mengaku Islam, namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu
tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat
menjawabnya.
Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan
inilah ilmu yang paling utama. Karena salah satu
tujuan pendidikan dalam Islam adalah bagaimana kita mendekatkan diri dan
menjalankan segala yang di perintahkan oleh Allah swt, serta menjauhi segala
yang dilarang-Nya.
Kedudukan tauhid dalam Islam
sangatlah fundamental, karena dari
pemahaman tentang tauhid itulah keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep
tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu
gugat dan sangat berpengaruh terhadap keIslaman seseorang. Allah swt berfirman
dalam al- Qur'an Surat al-Ikhlas
ayat 1-4 yang berbunyi:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
1). Katakanlah,
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4). dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS, al-Ikhlas,112:1-4).
Karena
tauhid saat ini tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat
mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat
memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci
yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.
Penting saat ini untuk lebih waspada
terhadap perbuatan yang mengandung unsur syirik, dalam cara meningkatkan
ketauhidan inilah lembaga pendidikan dianggap salah satu formulasi terbaik, hal
ini dibuktikan dengan makin berkembangnya lembaga pendidikan Islam.
B. Kajian
Teoretik
Dalam penulisan ini, penulis akan merumuskan
landasan teoritis yang akan digunakan dalam mengkaji permasalahan yang telah
dirumuskan, karena teori merupakan pijakan bagi penulis untuk mengetahui
persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai kerangka berfikir ilmiah. Huzni
Thoyyar menjelaskan “ Landasan
teoritis amat penting bagi sebuah penelitian, terutama agar suatu penelitian
memiliki landasan yang kokoh dan tidak sekedar coba-coba ( trial and error
). Untuk itulah perlu dilakukan telaah kepustakaan” (Thoyyar,
2007 : 112).
1. Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan atau al-Tarbiyah, menurut pandangan Islam merupakan
bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Allah adalah rabb al-‘alamin, juga
rabb al-nas. Dalam buku Filsafat
Pendidikan Islam,
M.Arifin (1987: 13), menyebutkan arti pendidikan Islam menurut
Prof. Dr. Omar Muhammad at- Toumy al-syaebany, ‘Pendidikan Islam diartikan
sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau
kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan’.
Sedangkan
dalam buku Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasasi Menuju Millennium Baru, Azyumardi Azra menyebutkan arti
pendidikan Islam sebagai berikut:
Menurut Yusuf al-Qordawi “Pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya, akal, dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak
dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk
hidup baik dalam keadaan damai dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat
dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.
Sedangkan al-Rasyidin
dan Syamsul Nizar (2005:
31-32), dalam buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan pengertian
pendidikan Islam menurut para ahli secara terminologi yaitu:
Al-Syaibani, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah
tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan
alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan
pengajaran sebagai satu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak
profesi asasi dalam masyarakat.
Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan
islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup
lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dalam kehidupan yang
mulia. Dengan proses tersebut diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik
yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun
perbuatan.
Ahmad D. Marimba, mengemukakan bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama
(insan
kamil).
Ahmad Tafsir, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai
bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam.
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa
Pendidikan agama Islam merupakan bimbingan secara sadar dan terus-menerus dari
seseorang kepada orang lain sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan
kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar) baik secara individual maupun secara
kelompok sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
Islam secara utuh dan benar meliputi; aqidah (keimanan), syariah (ibadah dan
muamalah), dan akhlak (budi pekerti).
2. Pengertian
Ketauhidan
H.M.Yusran Asmuni (1993:1), dalam buku Ilmu Tauhid, menjelaskan bahwa “Tauhid dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti
keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid
berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada (وحد) yuwahhidu (يوحد)”.
Jubaran Mas’ud (1967:972) dalam buku Raid
ath-Thullab, menerangkan secara
etimologis, “Tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah Swt
adalah Esa;Tunggal;satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan
dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui
akan keesaan Allah;mengesakan Allah”. Jubaran Mas’ud juga menulis bahwa
tauhid bermakna “beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa”, juga sering disamakan
dengan kata “tiada Tuhan selain Allah”.
Mahmud Yunus (tt:23), dalam buku Metodik Khusus
Pendidikan Agama menyatakan bahwa tujuan pendidikan dalam bidang
keimanan ialah :
a). Agar
memiliki keimanan yang teguh kepada Allah, Rasul-rasul, Malaikat, hari akhir,
dan lain sebagainya. b). Agar memiliki keimanan berdasarkan kepada kesadaran
dan ilmu pengetahuan, bukan sebagai “pengikut buta” atau taklid semata-mata.
c). Agar keimanan itu tidak mudah rusak apalagi diragukan oleh orang-orang yang
beriman.
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan (1998:239), dalam buku
Filsafat Pendidikan Islam, mengutip pendapat dari al Ghazali tentang
tujuan pendidikan keimanan yaitu:
Agar anak
didik menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya. Melatih diri
untuk mendekatkan diri (bertakarrub) kepada Allah, membentuk kepribadian yang
sempurna dengan bimbingan taufik serta nur illahi agar terbuka jalan menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam website http
:// ridwan 202. wordpress. com /
istilah - agama / tauhid (diakses
pada tgl. 10, 09, 2013) dikatakan bahwa fungsi merupakan bentuk operasional dari sebuah
tujuan, sehingga kita dapat melihat fungsi pendidikan tauhid dengan
menganalisis tujuan dari pendidikan tauhid.
Fungsi pendidikan tauhid adalah sebagi berikut:
Yusron
Asmuni menyebutkan bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga adalah berfungsi
untuk :Memberikan ketentraman dalam hati anak. Menyelamatkan anak dari kesesatan
dan kemusyrikan. Membentuk perilaku dan kepribadian anak, sehingga menjadi
falsafah dalam kehidupannya.
Dari
penjelasan yang diuraikan oleh Abdurrahman an Nahlawi, dapat dilihat
bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga memiliki beberapa fungsi agar : Anak
dapat beribadah kepada Allah secara ikhlas. Anak dapat mengetahui makna dan
maksud beribadah kepada Allah. Anak dapat menjauhi hal-hal yang dilarang Allah
seperti syirik dan semua hal yang dapat menghancurkan ketauhidan.
Keluarga
merupakan tempat pertama kali anak menerima pendidikan tauhid. Dengan
menanamkan kepada anak bahwa dirinya selalu berada dalam perlindungan dan kekuasaan
Allah yang Maha Esa. Sehingga dengan proses yang panjang anak akan selalu
mengingat Allah Swt.
Pendidikan
tauhid dalam keluarga juga membuat anak mampu memiliki keimanan berdasarkan
kepada pengetahuan yang benar, sehingga anak tidak hanya mengikuti saja atau
“taklid buta”. Dengan mengajarkan ketauhidan yang bersumber dari al Qur'an dan al Hadits, maka ketauhidan yang terbentuk dalam
jiwa anak disertai dengan ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada
argumen-argumen dan bukti-bukti yang benar, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat
keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan
sehari-hari. Maka benar jika keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian
diyakini namun juga harus tercermin dalam perilaku seorang muslim.
Ketauhidan yang telah terbentuk menjadi pandangan
hidup seorang anak akan melahirkan perilaku yang positif baik ketika
sendirian maupun ada orang lain, karena ada atau tidak ada yang melihat, anak
yang memiliki ketauhidan yang benar akan merasakan bahwa dirinya selalu berada
dalam penglihatan dan pengawasan Allah, sehingga amal dan perilaku positif yang
dilakukan benar-benar karena mencari ridho Allah Swt.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam
sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh pendidik ataupun para orang
tua, karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang
benar, dan bertakwa kepada Allah Swt, yang dihiasi dengan akhlak dan perilaku
positif, sehingga anak-anak yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal yang
positif.
Hal-hal yang dapat bermanfaat baik untuk dirinya,
keluarganya, masyarakatnya, agamanya, bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari
anak yang bertauhid hanyalah mencari ridho Allah Swt, bukan mencari sesuatu
yang bersifat duniawi.
3. Pengertian
Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab
disebut dengan Tilmidz jamaknya adalah Talamid, yang
artinya adalah murid, maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan
pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah Thalib, jamaknya
adalah Thullab, yang artinya adalah mencari, maksudnya adalah
“orang-orang yang mencari ilmu”.
Menurut Samsul Nizar (2002 : 25), dalam Filsafat Pendidikan Islam menjelaskan peserta didik secara
definitif yang lebih detail, para ahli telah menuliskan beberapa pengertian
tentang peserta didik. “Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan
memilki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan”.
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, “Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.
Menurut al-Rasyidin
(2005 : 47) bahwa “peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang
memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya
mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan”.
Dalam paradigma pendidikan Islam menurut
Ahmad D. Marimba, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini,
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani
maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat,
memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. (al-Rasyidin
dan Nizar, 2005: 47).
Menurut Abdul Mudjib (2008 : 113) dalam bukunya Ilmu
Pendidikan Islam tugas atau kewajiban peserta didik yang harus dilaksanakan
diantaranya adalah memenuhi syarat-syarat kode etik, menurut pendapat al-Ghazali,
yang dikutip oleh fhatiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik yaitu :
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada kepada Allah Swt,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk mensucikan
jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan
mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahali) (perhatikan Q.S al-An'am :
162 dan al-Dzariyat : 56).
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.s Ad-Dhuha : 4)
artinya belajar tak semata-mata untuk mendapat pekerjaan tapi juga belajar
ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi,
baik dihadapan manusia dan Allah swt.
Bersikap tawadlu'
(rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan
pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan
itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya
lebih rendah.
Menjaga fikiran dan
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran sehingga ia terfokus dan dapat
memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
Mempelajari ilmu-ilmu yang
terpuji (mahmudah) baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta meninggalkan
ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri
kepada Allah, sedangkan ilmu tercela dapat menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan
permusuhan antar sesama.
Belajar dengan bertahap atau
berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang
sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardu 'ain menuju ilmu yang fardu
kifayah ( Q.S al-Insyiqaq : 19).
Belajar ilmu sampai tuntas
untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini spesialisasi
jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus
(Q.S al-Insyirah : 7).
Mengenal nilai-nilai ilmiah
atas ilmu pengetahuan yang dipelajari sehingga mendatangkan objektivitas dalam
memandang suatu masalah.
Memprioritaskan ilmu diniyah
yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah swt, sebelum masuk ilmu duniawi.
Mengenal nilai-nilai pragmatis
bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan,
mensejahterakan serta memberi keselamatan hidup dunia dan akhirat.
Peserta didik harus tunduk pada
nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya,
mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik
pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian
yang baik".
"Menurut Ibnu Jama'ah yang
dikutip oleh Abd al-Amir Syams ad-Din etika peserta didik terbagi atas tiga macam,
yaitu : (1) terkait dengan diri sendiri, meliputi pembersihan hati, memperbaiki
niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud
(tidak materialistis), dan penuh kesederhanaan. (2) terkait dengan pendidik,
meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan dan menghormatinya,
senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman
darinya. (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada
pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikkan apa
yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu".
C. Metode
Penelitian
Sebagaimana pemikiran M. Iqbal Hasan
(2002:87), dalam buku Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya,mengemukakan
bahwa, “Studi dokumentasi
adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada sebuah
penelitian, namun melalui dokumen”. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku
harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan khusus dalam pekerjaan
sosial dan dokumen lainnya.
Metode
penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode kepustakaan (library
research), yakni memaparkan secara jelas beberapa permasalahan yang
diungkap melalui pendekatan pustaka. atau menggali data-data yang bersumber
dari bahan bacaan,dan berbagai literatur yang mengupas masalah fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan
ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas (studi analisis terhadap
Tafsir Ibnu Katsir).
D. Pembahasan
1. Penafsiran
Surat Al-Ikhlas Ayat 1-4 Menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir
Ibnu Katsir
(2003:
573-575), dalam Tafsir al-Qur'an al-'Adzim Li-Alhafidz Ibnu Katsir, menjelaskan tentang bagaimana penafsiran dari surat al-Ikhlas,
adalah sebagai berikut:
Ayat
pertama. Ayat ini adalah jawaban kepada orang-orang Yahudi
ketika mereka mengatakan ‘Kami menyembah ‘Uzair putra Allah’, dan orang-orang
Nasrani mengatakan ‘al-Masih putra Allah’. Sedangkan orang-orang Majusi
mengatakan ‘Kami menyembah matahari dan bulan’. Adapun orang-orang musyrik
mengatakan ‘Kami menyembah berhala’.
Maka Allah Swt menurunkan surat al-Ikhlas
ayat pertama ini kepada Rasul-Nya untuk meyakinkan umat manusia bahwa Alah itu Maha
Tunggal dan satu-satunya, yang tiada tandingannya, tanpa pembantu, juga tanpa
sekutu, serta tidak ada yang menyerupai dan menandingi-Nya.
Dan kalimat itu tidak bisa
dipergunakan pada seorang pun dalam memberikan penerapan kecuali kepada Allah Swt.
Karena Dia yang sempurna dalam semua sifat dan perbuatan-Nya.
Ayat
kedua. Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa makna
Ash Shomad ada empat pendapat:
Pertama, ash Shomad bermakna Allah adalah as Sayid (penghulu), tempat makhluk
menyandarkan segala hajat pada-Nya. Kedua, ash Shomad bermakna,yaitu Allah tidak memiliki rongga
(perut). Ketiga, ash Shomad bermakna yaitu
Allah itu Maha Kekal. Keempat, ash Shomad bermakna yaitu Allah itu tetap kekal setelah para makhluk
binasa.
Dalam Tafsir al-Qur’an al-'Adzim Li-Alhafidz Ibnu Katsir ini juga
disebutkan beberapa perkataan ahli tafsir yakni sebagai berikut:
Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah: “Seluruh makhluk bersandar/bergantung kepada-Nya dalam segala
kebutuhan maupun permasalahan”.
Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas mengatakan “Dia
lah As Sayyid (Pemimpin) yang
kekuasaan-Nya sempurna. Dia lah asy
Syarif (Maha Mulia) yang kemuliaanNya sempurna. Dia-lah al ‘Azhim (Maha Agung) yang keagunganNya
sempurna. Dia lah al Halim (Maha
Pemurah) yang kemurahanNya itu sempurna. Dia lah al ‘Alim (Maha Mengetahui) yang ilmu-Nya itu sempurna. Dialah al Hakim (Maha Bijaksana) yang sempurna
dalam hikmah (atau hukum-Nya).
“Allah adalah pergantungan.”, artinya, bahwa segala
sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu
kepadaNyalah bergantung. Ada atas kehendakNya.
Ayat
ketiga. Mustahil Dia
beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki
keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini
merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan
itu berarti hidupnya akan bersambung.
Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu.
Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu,
besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang
menyambung hidupnya.
Ayat
keempat. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di mengatakan makna ayat ini adalah.
”Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa
(setara) dengan Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan.
Mujahid mengatakan, “Yakni, Dia tidak mempunyai
pendamping”. Hal ini sesuai dengan apa yang tertera dalam kitab Shahih al-Bukhari yaitu, “Tidak ada yang
lebih sabar dari sesuatu yang menyakitkan yang di dengar kecuali kesabaran
Allah swt. Di mana mereka menjadikan bagiNya seorang anak, padahal Dia yang
memberi rizki dan kesehatan kepada mereka”.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi
Muhammad saw, beliau bersabda yang artnya “Allah Swt, telah berfirman; Anak
Adam telah mendustakanKu, sedang dia tidak berhak melakukan hal tersebut, dia
juga mencelaKu, padahal dia tidak berhak untuk itu. Kedustaan yang dia lakukan
terhadapKu itu adalah ucapanya, dia tidak akan pernah dapat mengembalikan
diriKu sebagaimana dia telah memulai diriKu. Dan tidaklah pengawalan itu tidak
lebih mudah dari pengulangannya. Dan caciannya kepadaKu adalah ucapannya bahwa
Allah Swt telah mengambil anak, padahal Aku Maha Tunggal yang bergantung segala
urusan, Aku tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak seorang pun yang
setara denganKu”.
Keterangan kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah
Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan
kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada
mulanya masih muda yaitu sebelum bapakNya mati. Kalau diakui bahwa Dia
terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sehat yang mana
jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama kurang kekuasaannya.
Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi
pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan
dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau
keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasaNya, yakni
masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan
keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
2. Isi
Kandungan Surat Al-Ikhlas Ayat 1-4
Keutamaan surat al-Ikhlas yaitu, (1. Sepertiga dari
al- Qur'an, (2. Akan
dikabulkan setiap do’anya jika di awali dengan membaca surat al-Ikhlas, (3.
Pahala dn Syurga bagi pembacanya.
Maka dengan sendirinya kita dapat mengetahui isi
kandungan dari surat al-Ikhlas ayat 1-4. Dalam Tafsir
Al al-Qur’an Al
'Adzim Li
Alhafidz Ibnu Katsir,
Ibnu
Katsir (2003:571-573),
menyebutkan isi kandungan dalam al- Qur'an Surat al-Ikhlas ayat 1-4 adalah
sebagai berikut:
Pertama: Asma (nama) Tuhan yang patut
disembah. Menetapkan keesaan Allah swt dan bantahan terhadap orang-orang
Yahudi dan Nashrani yang menjadikan bagi Allah anak. Kedua: Tauhidullah atau (pengesaan terhadap Allah). Ketiga: kesempurnaan sifat Allah swt .
3. Fungsi
Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Ketauhidan Menurut Syaikh Hafidz Ibnu
Katsir
Pendidikan Tauhid merupakan landasan utama seorang
muslim, identitasnya ditentukan oleh ketauhidannya yang benar, dia adalah
sebuah pondasi bangunan, kuat tidaknya bangunan ditentukan oleh “pondasinya”,
ia adalah akar sebuah pohon, hidup matinya pohon tergantung sehat tidaknya;kuat
rapuhnya akar sang pohon.
Sehingga “Tauhid” menjadikan seorang muslim hanya
tunduk, patuh pasrah kepada Allah. Pengakuan tersebut harus dicerminkan
dengan keyakinan teguh dalam hati sampai akhir hayat, juga diucapkan secara
lisaniyah, serta teraplikasi dalam setiap aktivitas gerak fisik.
Dalam wibesite http://www.hidayatullah.com /read
/2005 3/05 /12/ 2011/ menggagas-konsep-pendidikan-berbasis-tauhid.html
(diakses
pada tgl. 29, 09, 2013), dikatakan bahwa:
Tauhid sebagai Azas Pendidikan. Dari sudut pandang Islam, problematika besar
yang melanda kemanusiaan di abad ini disebabkan oleh gerakan pemujaan akal dan
pengabaian secara sengaja terhadap mu’jizat akhir zaman yakni al- Qur'an.
Ilmu yang hari ini ada tidak saja
telah rusak tetapi juga sangat berperan dalam menggiring manusia pada kesesatan
berpikir yang sangat berbahaya. Kesesatan yang berakibat pada hilangnya
dasar-dasar kemanusiaan dan menjadikan manusia hidup dalam hukum kebinatangan.
Paparan Allah dalam al- Qur'an
mengindikasikan satu kehendak kuat bahwa semestinya manusia benar-benar tunduk,
patuh, dan taat kepada Allah semata, seperti apapun akal memandang perintah
tersebut. Suka tidak suka, perintah Allah harus dilaksanakan dan segala
larangan harus ditinggalkan.
Termasuk dalam dunia pendidikan.
Tujuan pendidikan hendaknya tidak direduksi hanya pada aspek material semata.
Pendidikan seharusnya justru mengintegrasikan kekuatan besar manusia, yaitu
akal dan jiwa. Akal membutuhkan informasi, dan jiwa sangat membutuhkan petunjuk
(wahyu).
Penyebab Kekalahan Umat Islam. Hampir semua pemikir Muslim kontemporer
sepakat bahwa kemunduran yang terjadi ini adalah akibat dari umat Islam yang
tidak lagi antusias dalam menjalankan ajaran agama Islam. Bahkan
mentadabburinya pun boleh dibilang sudah cukup redup. Sejauh ini kita tidak
salah jika berpendapat bahwa hampir setiap hari umat Islam membaca koran tapi tidak
demikian dalam membaca al- Qur'an.
Strategi Konsep Pendidikan Berbasis Tauhid. Tugas membangun pendidikan berbasis tauhid
ini bukan monopoli atau tanggung jawab para guru semata. Ini adalah tugas kita
bersama.
Pertama,
bermujahadah dalam mentadabburi, mentafakkuri kandungan kitab suci al- Qur'an dan
mengamalkannya secara massal bahkan kolossal.
Kedua,
meninggalkan paham anthroposentris dan segera menuju pada paham tauhid.
Sebagaimana atsar sayyidina Ali bahwa, akal dan wahyu ibarat dua tanduk yang
tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan.
Ketiga, seluruh umat Islam berkewajiban
meningkatkan kepekaan atau sensitivitas terhadap kondisi umat Islam secara
menyeluruh, sehingga lahir kepedulian yang tinggi untuk bersama-sama mengambil
peran dalam menjawab tantangan zaman.
Keempat,
mulailah satu gerakan walau kecil untuk mencintai dan memakmurkan masjid.
Setidaknya dengan cara meramaikan pelaksanaan sholat jama’ah di masjid lima
waktu, meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan keilmuan di masjid, bahkan
mungkin kegiatan ekonomi di masjid.
Kelima,
setiap muslim hendaknya meningkatkan kualitas diri dengan mempertajam bekal
keilmuan ukhrowi dan duniawi sekaligus.
Secara
umum pendidikan dipahami sebagai ikhtiar untuk menyiapkan peserta didik melalui
berbagai proses agar mereka cerdas dan dapat berperan selayaknya. Dalam
perspektif tauhid pendidikan mampu menjadi satu infrastruktur dalam membangun
sumber daya manusia yang berkualitas dan utuh yakni manusia paripurna sebagai
wujud keutuhan dan ketaqwaannya.
Ibnu Katsir (2003:
571-575), dalam Tafsir al-Qur’an al-'Adzim Li-Alhafidz Ibnu Katsir, menjelaskan tentang fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan
ketauhidan yang terkandung dalamsurat al-Ikhlas, adalah sebagai berikut:
Membebaskan
manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk.
Mengajarkan emansipasi manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa
nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan-kesenangan sensual belaka. Sebagai frame of thought dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Maksudnya ialah bahwa tauhid menjadi kerangka
pemikiran dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam
semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Menjadikan
Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia. Sebagai pondasi keimanan yang
juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat
manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Mengajarkan
kepada umat islam supaya menjadikan Allah swt sebagai pusat kesadaran
intelektual mereka.
Dengan
diketahuinya fungsi- fungsi tauhid oleh umat Islam serta mereka dapat dan mau
mengaplikasikannya dalam kehidupan maka mereka akan menjadi manusia tauhid yang
memiliki ciri-ciri positif yaitu
:
Memiliki komitmen utuh pada
Tuhannya. Menolak pedoman hidup yang datangnya bukan dari Allah Swt. Bersikap
progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya,
adat- istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya. Tujuan hidupnya sangat jelas.
Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya hanyalah untuk Allah swt semata. Memiliki
visi dan misi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama
manusia lain; suatu kehidupan yang harmonis antar sesama manusia; dan ia akan
terdorong untuk mengubah dunia dan masyarakat sekelilingnya sehingga semangat
untuk berkarya bagi kemaslahatan umat.
4. Pembahasan
Konsep
awal dari tauhid adalah menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah
menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluk
(yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya. Konsep ini
merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum
mengimani hal ini, ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus.
Akan
tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan
membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi
dalam realitas empiris. Jika tauhid kita artikan pengesakan Tuhan, maka
pengakuan kita bahwa Tuhan hanya ada satu dan artinya kita hanya harus fokus
pada satu tuhan, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak lain hanyalah Allah Swt.
Makna
lain dari Tauhid adalah kesetiaan dan ketaatan kita terhadap Tuhan. Kita
bertauhid berarti kita mengikat diri dengan kita kepada Tuhan, janji untuk taat
terhadap segala aturan yang Dia berikan. Kita tidak bisa dikatakan sebagai
orang yang bertauhid ketika kita melanggar janji kita dengan Tuhan, ketika kita
mengingkari perintah-Nya, meskipun kita tetap percaya dan teguh bahwa Tuhan itu
Esa. Artinya, tidak cukup dengan mengesakan Tuhan tanpa melakukan ibadah-ibadah
yang diperintahkan-Nya, baik ibadah spiritual maupun sosial.
Jika
kita ingat sebuah perkataan Nabi yang menyatakan bahwa jika kita berjanji lalu
kita mengingkari, maka kita masuk dalam golongan orang-orang munafik. Maka sama
dengan hal ini, jika kita tidak setia dan tidak taat terhadap janji kita dalam
ranah sosial, maka itu berarti bahwa kita “munafik sosial”.
Dari
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan Islam perlu
dikembalikan kepada dasar tauhid, sebab salah satu persoalan besar yang sangat
krusial adalah dikotomi ilmu. Upaya yang dapat ditempuh dalam menyatukan ilmu
harus berangkat dari pemahaman yang benar terhadap tauhid serta implementasinya
dalam pengembangan ilmu serta dibarengi pula dengan integrasi nilai syaraiat
dan akhlak dalam merumuskan teori keilmuan.
Rekonstruksi
bangunan keilmuan ini merupakan kebutuhan mendesak dalam membangun peradaban
baru sekaligus menyelamatkan manusia dari degradasi humanitas.
Dalam
menyikapi kecenderungan ini, yang paling strategis adalah pembenahan dunia
pendidikan, sebab melalui lingkungan inilah berbagai pengkajian dan penelitian
dapat dilakukan.
Dalam menghadapi
perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi para pakar pendidikan muslim
telah melakukan upaya untuk menjadikan Islam sesuai dengan semangat keilmuan
dan filosofis yang ada sekarang. Dalam wibesite http :// oppahermanto .blogspot .com / 2013/ 04/ hubungan
–ilmu –tauhid -dengan-ilmu .html (diakses pada tgl. 18, 09, 2013),
dikatakan bahwa:
Ali
bin Abi Thalib pernah berkata: "Didiklah anak kalian dengan pendidikan
yang berbeda dengan yang diajarkan padamu, karena mereka diciptakan untuk zaman
yang berbeda dengan zaman kalian".
Harus
diakui bahwa sementara ini sistem pendidikan tradisional kita tidak dirancang
untuk menghadapi tantangan-tantangan modernitas, dan konflik-konflik antara
orang-orang muslim berpendidikan modern dan ulama berlanjut di depan pemilihan
yang semakin meningkat pada umat Islam. Isma'il al Faruqi, misalnya, yang telah
mencetuskan gagasan Islamisasi pengetahuan modern, sekarang telah mulai
dirasakan hasilnya. Solusi al Faruqi bagi dikotomi pendidikan menegaskan bahwa
pengetahuan modern tidak bisa dianggap bebas nilai (value free) dan bahwa ia harus dinilai di dalam kerangka kerja
Islam.
Islamisasi
pengetahuan tidaklah berarti suatu penolakan terhadap pengetahuan modern, namun
ia adalah upaya membersihkan sains dan ilmu penge-tahuan dari unsur-unsur
sekuler dengan memasukkan visi Islam ke dalamnya.
Pendidikan
Islam tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tauhid. Hakikat ilmu bersumber
dari Allah. Dia mengajari manusia melalui qalam dan 'ilm. Qalam adalah konsep tulis baca yang memuat simbol penelitian dan
eksperimentasi ilmiah. Sedangkan 'ilm adalah alat yang mendukung manusia untuk
meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Melalui
konsep tarbiyyat, ta'dib, dan ta'lim yang telah dikembangkan selama
ini oleh para ahli semuanya mengacu kepada bagaimana membina umat manusia untuk
berhubungan dengan Allah sebagai Dzat Yang Maha Mendidik.
Allah
sebagai pendidik yang maha Agung kemudian mendidik para RasulNya, lalu secara
artifisial tugas tugas kependidikan selanjutnya diserahkan kepada para ulama,
profesional, ustadz, mu'allim, atau guru.
Sebagai
seorang pewaris misi Rasul Allah, seorang pendidik haruslah memenuhi lima
kriteria yaitu (a) bertaqwa kepada Allah, (b) ikhlas berkorban karena
merindukan ridha Allah, (c) berilmu pengetahuan luas mengenai kekuasaan Allah,
dan (d) santun, lemah lembut, sabar, pemaaf, (e) memiliki rasa tanggungjawab
yang tinggi dan berlaku adil.
Rasulullah
adalah pendidik yang berhasil dan unggul di hadapan Allah dan sejarah umat
manusia. Keberhasilannya oleh karena (1) didukung oleh kepribadian (personality) yang berkualitas tinggi,
(2) mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah sosial-religius, (3) mempunyai
semangat yang peka dalam iqra' bi ism Rabbik, dan (4) mampu mempertahankan dan
mengembangkan kualitas iman, amal shalih dan memperjuangkan kebenaran atas
prinsip ta'awun (kerja sama) dan
sabar.
Keberhasilan
beliau dapat diformulasikan bahwa seorang pendidik berhasil menjalankan
tugasnya apabila memiliki kompetensi profesional religius. Sikap religiusitas
harus selalu dikaitkan dengan setiap kompetensi agar semua persoalan berada
dalam perspektif Islam. Demikian itulah tugas utamanya seorang pendidik, kata
al Ghazaly, yakni menyempurnakan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk
dekat kepada Allah.
Dengan
demikian, yang dimaksud pendidikan yang berbasis tauhid ialah keseluruhan
kegiatan bimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia sesuai
dengan bakat, kadar kemampuan dan keahliannya masing-masing yang bersumber dari
Allah.
Selanjutnya,
ilmu dan keahlian yang dimilikinya diaplikasikan dalam kehidupan sebagai
realisasi konkret pengabdian dan kepatuhannya kepada Allah. Upaya ke arah itu
diawali dari menanamkan nilai-nilai akhlaq al karimah (budi pekerti, tatakrama,
menurut istilah lokal kita di Indonesia) dalam diri setiap peserta didik
kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur
dan pemelihara kehidupan di dunia ini.
Sebab,
pada dasarnya tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah (1) terbentuknya
insan kamil (manusia universal, conscience) berwajah al-Qur'ani, (2)
terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius, budaya, dan
ilmiah, (3) penyadaran akan eksistensi manusia sebagai 'abd (hamba), khalifah,
pewaris perjuangan risalah para Nabi.
Pada
akhirnya, melalui konsepsi pendidikan berbasis tauhid ini setiap manusia akan
memasuki fase kehidupan yang oleh Allah sebut kaffah. Suatu perwujudan sikap
pribadi utuh yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, sikap yang humanis,
toleran serta mendatangkan kebaha-giaan bagi kehidupan bersama.
Jadi,
salah satu tantangan kita ke depan khususnya aktivitas pendidikan Indonesia
yang telah banyak berjasa melahirkan para pemikir, penguasa, pengusaha atau
profesi lainnya, terutama di bidang pendidikan, untuk tiada hentinya memelopori
lahirnya gagasan, konsep, teori, dan sistem pendidikan yang berbasis tauhid
sehingga lahir corak pendidikan sosio-religi.
Peluang ini
sangat mungkin dan terbuka sebagai bagian dari upaya melakukan pembaharuan
pendidikan. Upaya itu sangat bersesuaian baik dilihat dari segi sosiologis,
kultural, ideologi maupun paham teologis masyarakat kita yang mayoritas muslim.
Proses dan
perkembangan yang sedang berjalan dalam bentuk pengintegrasian nilai-nilai
agama (Islam) ke dalam sains, teknologi, dan seni di semua jenjang lembaga
pendidikan dan profesi yang ada barulah merupakan jenjang awal yang benar dan
strategis menuju upaya perwujudan pendidikan yang berbasis tauhid.
Adapun beberapa
metode yang relevan dengan al-
Qur'an surat al-Ikhlas ayat 1-4 dalam hal meningkatkan
kualitas ketauhidan peserta didik adalah sebagai berikut:
1.
Kalimat tauhid
F. J. Monks (2001:87), dalam
buku Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, yang mengutip pendapat Wertheimer
yaitu, “Bahwa bayi juga akan memalingkan pandangannya ke arah suara yang ia
dengar, setelah 10 menit ia dilahirkan. Gerakan ini disebut sebagai reaksi
orientasi. Fungsi auditif bayi akan bereaksi terhadap irama dan lama waktu
berlangsungnya”.
2. Keteladanan
Di era yang modern ini, metode keteladanan masih
sangat diperlukan dalam dunia pendidikan. Keteladanan akan memberikan
kontribusi yang sangat berarti bagi tercapainya tujuan pendidikan, begitu pula
dalam hal pendidikan tauhid. Pendidik merupakan contoh tauladan utama sebagai
panutan bagi peserta didiknya, memegang teguh ketauhidan dan menjaganya, serta
mengamalkan nilai-nilai ketauhidan.
Meskipun demikian metode keteladanan memiliki kelebihan. Menurut Armai Arif
(2002: 122-123), dalam buku Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan
Islam Di antara kelebihan metode keteladanan adalah :
Anak akan lebih mudah menerapkan ilmu yang telah
diketahui. Orang tua akan mudah mengevaluasi hasil belajar anaknya. Tujuan
pendidikan akan lebih terarah dan tercapai dengan baik. Akan menciptakan
situasi dan kondisi yang kondusif. Terjalin hubungan harmonis antara anak
dengan orang tua. Orang tua dapat menerapkan pengetahuannya kepada anak. Mendorong
orang tua agar selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh anak-anaknya.
Sri Harini dan Aba Firdaus al Halwani (2003:
122-123) dalam buku Mendidik Anak Sejak Dini, mengatakan:
Pendidikan
praktis menunjukkan bukti bahwa anak secara psikologis cenderung meneladani
orang tuanya, karena adanya dorongan naluriah untuk meniru. Kualitas agama anak
serta ketauhidannya sangat tergantung kepada orang yang terdekat dengan mereka
yakni orang tua. Kepribadian anak akan terbentuk dan terpola dari teladan yang
ia tiru sejak awal kehidupannya dalam keluarga. Islam telah memberikan contoh
kepada para orang tua kepada sosok bernama Lukman al Hakim, yang mengajarkan
bagaimana seharusnya seorang ayah menuntun dan menanamkan ketauhidan kepada
anak-anaknya, contoh ini tidak hanya melalui perintah tetapi keteladanan Lukman
al Hakim sendiri sebagai orang tua.
3.
Pembiasaan.
Armai Arif (2002: 110-111), dalam buku Pengantar Ilmu Dan
Metodologi Pendidikan Islam,
mengatkan bahwa:
Pembiasaan adalah proses untuk membuat orang menjadi biasa. Jika dikaitkan
dengan metode pendidikan Islam maka metode pembiasaan merupakan cara yang dapat
digunakan untuk membiasakan anak berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai
dengan ajaran agama Islam. Metode ini sangat efektif untuk anak-anak, karena
daya rekam dan ingatan anak yang masih kuat sehingga pendidikan penanaman nilai
moral, terutama ketauhidan ke dalam jiwanya sangat efektif untuk
dilakukan.
Potensi
dasar yang dimiliki anak serta adanya potensi lingkungan untuk membentuk dan
mengembangkan potensi dasar tersebut melalui pembiasan-pembiasan agar potensi
dasar anak menuju kepada tujuan pendidikan Islam, hal ini tentunya memerlukan
proses serta waktu yang panjang.
“Kebiasaan seseorang, jika dilihat dari ilmu psikologi
ternyata berkaitan erat dengan orang yang ia jadikan figur dan panutan” (Arif, 2002: 114).
Abdullah Nashih Ulwan (1992: 45), dalam buku Pendidikan Anak Menurut Islam, mengatakan:
Landasan
awal dalam metode pembiasaan adalah “fitrah” atau potensi yang dimiliki oleh setiap anak yang baru lahir, yang
diistilahkan oleh beliau dengan “keadaan suci dan bertauhid murni”. Sehingga
dengan pembiasaan diharapkan dapat berperan untuk menggiring anak kembali
kepada tauhid yang murni tersebut.
Ada beberapa syarat yang harus dilakukan untuk
menerapkan metode pembiasan, Armai Arif (2002: 114-115), dalam buku Pengantar Ilmu Dan
Metodologi Pendidikan Islam,
mengatkan bahwa:
Proses
pembiasan dimulai sejak anak masih bayi, karena kemampuannya untuk mengingat
dan merekam sangat baik. Sehingga pengaruh lingkungan keluarga secara langsung
akan membentuk kepribadiannya. Baik ataupun buruk kebiasannya akan muncul
sesuai dengan kebiasan yang berlangsung di dalam lingkungannya.
Metode
ini harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus, teratur dan
terencana. Oleh sebab itu faktor pengawasan sangat menentukan. Dengan demikian
diharapkan pada akhirnya anak akan terbentuk dengan kebiasaan yang utuh,
permanen dan konsisten.
Meningkatkan
pengawasan, serta melakukan teguran ketika anak melanggar kebiasaan yang telah
ditanamkan.
Pembiasan
akan terus berproses, sehingga pada akhirnya anak melakukan semua kebiasaan
tanpa adanya dorongan orang tuanya baik ucapan maupun pengawasan. Namun akan
melakukannya karena dorongan dan keinginan dari dalam dirinya sendiri.
“Ketauhidan
anak akan tumbuh melalui latihan-latihan dan pembiasaan yang diterimanya.
Biasanya konsepsi-konsepsi yang nyata, tentang Tuhan, malaikat, jin, surga,
neraka, bentuk dan gambarannya berdasarkan informasi yang pernah ia dengar dan
dilihatnya” (Darajat, 1970:43). Latihan Kalimat Tauhid. 2)
Latihan Beribadah. 3) Latihan Berdoa di setiap Aktivitas” (Kayati, 1999: 38).
4.
Nasehat
Salah satu potensi yang ada di dalam jiwa manusia adalah potensi untuk
dapat dipengaruhi dengan suara yang didengar atau sengaja diperdengarkan.
Potensi ini tidak sama dalam diri seseorang, serta tidak tetap. Sehingga untuk
dapat terpengaruh secara, suara yang didengar atau diperdengarkan haruslah
diulang terus. Permanen atau tidak pengaruh yang dihasilkan tergantung kepada
intensitas dan banyaknya pengulangan suara yang dilakukan.
Nasehat yang dapat melekat dalam diri anak jika diulang secara terus
menerus. Namun nasehat saja tidaklah cukup ia harus didukung oleh keteladanan
yang baik dari orang yang memberi nasehat. Jika orang tua mampu menjadi teladan
maka nasehat yang ia sampaikan akan sangat berpengaruh terhadap jiwa anak.
“Nasehat merupakan aspek dari teori-teori yang disampaikan orang tua kepada
anak. Metode ini memiliki peran sebagai sarana untuk menjelaskan tentang semua
hakekat” ( Ulwan, 1992:66). “Bawalah
dunia mereka ke dunia kita , dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”, (De Porter, 2001:
6).
5.
Pengawasan.
“Dalam membentuk akidah anak memerlukan pengawasan, sehingga keadaan anak
selalu terpantau. Secara universal prinsip-prinsip Islam mengajarkan kepada
orang tua untuk selalu mengawasi dan mengontrol anak-anaknya” (Ulwan,
1992:129).
Maksud dari pengawasan ialah guru memberikan teguran jika peserta didiknya
melakukan kesalahan atau perbuatan yang dapat mengarahkannya kepada
pengingkaran ketauhidan. Pengawasan juga bermakna bahwa guru siap memberikan
bantuan jika peserta didik memerlukan penjelasan serta bantuan untuk memahami
dan melatih dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan kepadanya.
“Pendidik harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pendidikan
tauhid anak. Rasa tanggungjawab akan menjadi motor penggerak untuk
memperhatikan dan memikirkan pendidikan tauhid untuk anak-anaknya” (Zein, 1991: 68).
Dari berbagai realita kehidupan, baik itu dalam dunia pendidikan, keluarga
ataupun lingkungan masyarakat, yang banyak ditemukan berbagai penyimpangan
tentang masalah ketauhidan yang hampir luntur karena terlindas modernisasi dan
westernisasi. Alangkah baiknya sebagai seorang calon pendidik, kita mulai
mengembalikan pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas ketauhidan peserta
didik sesuai dengan apa yang tertera dalam al-Qur'an surat al-Ikhlas ayat 1- 4.
Tentunya dengan dukungan dari pemikiran-pemikiran para pakar pendidikan Islam.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Katsir adalah salah satu tokoh
dunia Islam yang berprestasi dan peduli terhadap kemajuan umat Islam.
Pendidikan memiliki peran
penting terhadap tingginya
kualitas ketauhidan peserta didik. Dengan
demikian, guru diharapkan memberikan pendidikan tauhid baik teori maupun
aplikasnya, sebagai upaya nyata menciptakan manusia yang maju IPTEK serta kuat
dalam IMTAQ. Dan sebagai dasar dari ketauhidan peserta didik, tertera jelas
dalam al-Qur'an surat Al-Ikhlas (112) ayat 1-4.
1.
Penafsiran surat Al-Ikhlas (112) ayat 1-4.
Tauhid
sebagai Azas Pendidikan, penyebab kekalahan umat Islam karena meninggalkan inti
dari tauhid, strategi konsep pendidikan berbasis tauhid: (a). bermujahadah
dalam mentadabburi, (b). mentafakkuri kandungan kitab suci al-Qur'an dan
mengamalkannya, (c). meningkatkan kepekaan terhadap kondisi umat Islam secara
menyeluruh, (d). mencintai dan memakmurkan masjid, (e). meningkatkan kualitas keilmuan
ukhrowi dan duniawi.
2.
Isi Kandungan Surat
Al-Ikhlas (112) Ayat 1-4
1)
Membebaskan manusia
dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk. 2) Mengajarkan emansipasi manusia dari nilai- nilai
palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan-
kesenangan sensual belaka. 3) Sebagai frame
of thought dalam perkembangan IPTEK. 4) Menjadikan Islam tumbuh
sebagai kekuatan peradaban dunia. 5) Sebagai pondasi keimanan. 6) Mengajarkan
kepada umat Islam supaya menjadikan Allah swt sebagai pusat kesadaran
intelektual mereka. 7) Memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. 8) Menolak pedoman
hidup yang datangnya bukan dari Allah swt. 9) Bersikap progresif dengan selalu
melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat- istiadatnya, tradisi
dan faham hidupnya. 10) memliki visi, misi dan tujuan hidup yang jelas.
3.
Fungsi Pendidikan Islam dalam Meningkatkan Ketauhidan
1). Terbentuknya
Insan Kamil. 2) Terciptanya Insan Kaffah . 3) Penyadaran akan
eksistensi manusia sebagai 'Abd
(hamba), khalifah, pewaris perjuangan risalah para Nabi. Adapun metode untuk meningkatkan kualitas ketauhidan
peserta didik adalah: (1) kalimat tauhid. (2) keteladanan. (3) pembiasaan (4)
nasehat (5) pengawasan.
F. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, penulis dapat
menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1.
Hasil penelitian ini sangat diharapkan menjadi masukan
pengetahuan dan pemahaman bagi guru
karena ia senantiasa menjadi figur bagi peserta didiknya.
2.
Guru diharapkan berhati-hati dalam setiap ucapan dan
tindakan karena akan senantiasa diperhatikan dan dicontoh oleh peserta didik.
3. Guru diharapkan
mampu menampilkan kepribadian yang mulia dalam setiap tindakan guna memberikan
ketauladanan yang baik bagi peserta didik dalam proses pendidikan,
agar tujuan dari pendidikan tersebut dapat tercapai.
No comments:
Post a Comment