Pages

Friday, 11 April 2014

artikel pendidikan agama Islam

Kata Kunci
Pendidikan Islam,  Ketauhidan, Peserta Didik

A.      Pendahuluan
Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah swt, manusia adalah mahluk yang sempurna di banding mahluk-mahluk lain ciptaanNya. Pada diri manusia, Allah swt memberikan banyak potensi diantaranya adalah potensi akal, hati, dan hawa nafsu, hal ini yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Qur'an Surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS, al-Baqarah, 2: 30)

Oleh karena itu, untuk menunjang amanat yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka ada kewajiban bagi manusia untuk menuntut ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan sangat cepat yang mewarnai seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam rangka mengimbangi perkembangan IPTEK tersebut pemerintah telah menetapkan suatu kebijaksanaan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi setiap warganya. Pencapaian kualitas pendidikan merupakan langkah yang harus dilakukan dengan usaha peningkatan kemampuan profesional yang dimiliki oleh guru. Utamanya guru pendidikan agama Islam. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas manusia.
Di Indonesia saat ini, kita bersyukur sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya, melepaskan adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa Islam jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut al Qur'an dan al Hadits.
Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme, informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah Mistis,  koran Merapi, majalah Liberty.
Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya akan kekuatan dan kekuasaan Allah swt. Meskipun tidak semua tayangan dan pemberitaan tersebut negatif.
Ketakutan kita pada hal-hal yang berbau menyekutukan Allah swt inilah yang mendasari pentingnya pendidikan agama dalam setiap individu, karena realita saat ini banyak orang yang mengaku Islam, namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya.
Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Karena salah satu tujuan pendidikan dalam Islam adalah bagaimana kita mendekatkan diri dan menjalankan segala yang di perintahkan oleh Allah swt, serta menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, karena dari pemahaman tentang tauhid itulah keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keIslaman seseorang. Allah swt berfirman dalam al- Qur'an Surat al-Ikhlas ayat 1-4 yang berbunyi:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  
1). Katakanlah, "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4). dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS, al-Ikhlas,112:1-4).
Karena tauhid saat ini tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.
Penting saat ini untuk lebih waspada terhadap perbuatan yang mengandung unsur syirik, dalam cara meningkatkan ketauhidan inilah lembaga pendidikan dianggap salah satu formulasi terbaik, hal ini dibuktikan dengan makin berkembangnya lembaga pendidikan Islam.
B.       Kajian Teoretik
Dalam  penulisan ini, penulis akan merumuskan landasan teoritis yang akan digunakan dalam mengkaji permasalahan yang telah dirumuskan, karena teori merupakan pijakan bagi penulis untuk mengetahui persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai kerangka berfikir ilmiah. Huzni Thoyyar menjelaskan “ Landasan teoritis amat penting bagi sebuah penelitian, terutama agar suatu penelitian memiliki landasan yang kokoh dan tidak sekedar coba-coba ( trial and error ). Untuk itulah perlu dilakukan telaah kepustakaan” (Thoyyar, 2007 : 112).
1.    Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan atau al-Tarbiyah, menurut pandangan Islam merupakan bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Allah adalah rabb al-‘alamin, juga rabb al-nas. Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam, M.Arifin (1987: 13), menyebutkan arti pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Omar Muhammad at- Toumy al-syaebany, ‘Pendidikan Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan’.
     Sedangkan dalam buku Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasasi Menuju Millennium Baru, Azyumardi Azra menyebutkan arti pendidikan Islam sebagai berikut:
     Menurut Yusuf al-Qordawi “Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal, dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.

Sedangkan al-Rasyidin dan Syamsul Nizar (2005: 31-32), dalam buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan pengertian pendidikan Islam menurut para ahli secara terminologi yaitu:
Al-Syaibani, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai satu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dalam kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatan.
Ahmad D. Marimba, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan  kamil).
Ahmad Tafsir, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.

     Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa Pendidikan agama Islam merupakan bimbingan secara sadar dan terus-menerus dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar) baik secara individual maupun secara kelompok sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan benar meliputi; aqidah (keimanan), syariah (ibadah dan muamalah), dan akhlak (budi pekerti).

2.    Pengertian Ketauhidan
H.M.Yusran Asmuni (1993:1), dalam buku  Ilmu Tauhid, menjelaskan bahwa “Tauhid dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada (وحد) yuwahhidu (يوحد)”.
Jubaran Mas’ud (1967:972) dalam buku  Raid ath-Thullab, menerangkan secara etimologis, “Tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah Swt adalah Esa;Tunggal;satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui akan  keesaan Allah;mengesakan Allah”. Jubaran Mas’ud juga menulis bahwa tauhid bermakna “beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa”, juga sering disamakan dengan kata “tiada Tuhan selain Allah”.
Mahmud Yunus (tt:23), dalam buku Metodik Khusus Pendidikan Agama menyatakan bahwa tujuan pendidikan  dalam bidang keimanan ialah :
a). Agar memiliki keimanan yang teguh kepada Allah, Rasul-rasul, Malaikat, hari akhir, dan lain sebagainya. b). Agar memiliki keimanan berdasarkan kepada kesadaran dan ilmu pengetahuan, bukan sebagai “pengikut buta” atau taklid semata-mata. c). Agar keimanan itu tidak mudah rusak apalagi diragukan oleh orang-orang yang beriman.

Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan (1998:239), dalam buku Filsafat Pendidikan Islam, mengutip pendapat dari al Ghazali tentang tujuan pendidikan keimanan yaitu:
Agar anak didik menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dalam hidupnya. Melatih diri untuk mendekatkan diri (bertakarrub) kepada Allah, membentuk kepribadian yang sempurna dengan bimbingan taufik serta nur illahi agar terbuka jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam website http :// ridwan  202. wordpress.  com  / istilah - agama  / tauhid (diakses pada tgl. 10, 09, 2013) dikatakan bahwa fungsi merupakan bentuk operasional dari sebuah tujuan, sehingga kita dapat melihat fungsi pendidikan tauhid dengan menganalisis tujuan dari pendidikan tauhid. Fungsi pendidikan tauhid adalah sebagi berikut:
Yusron Asmuni menyebutkan bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga adalah berfungsi untuk :Memberikan ketentraman dalam hati anak. Menyelamatkan anak dari kesesatan dan kemusyrikan. Membentuk perilaku dan kepribadian anak, sehingga menjadi falsafah dalam kehidupannya.
Dari penjelasan yang diuraikan oleh Abdurrahman an Nahlawi,  dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga memiliki beberapa fungsi agar : Anak dapat beribadah kepada Allah secara ikhlas. Anak dapat mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah. Anak dapat menjauhi hal-hal yang dilarang Allah seperti syirik dan semua hal yang dapat menghancurkan ketauhidan.
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak menerima pendidikan tauhid. Dengan menanamkan kepada anak bahwa dirinya selalu berada dalam perlindungan dan kekuasaan Allah yang Maha Esa. Sehingga dengan proses yang panjang anak akan selalu mengingat Allah Swt.
Pendidikan tauhid dalam keluarga juga membuat anak mampu memiliki keimanan berdasarkan kepada pengetahuan yang benar, sehingga anak tidak hanya mengikuti saja atau “taklid buta”. Dengan mengajarkan ketauhidan yang bersumber dari al Qur'an dan al Hadits, maka ketauhidan yang terbentuk dalam jiwa anak disertai dengan ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada argumen-argumen dan bukti-bukti yang benar, serta dapat dipertanggungjawabkan.

Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan sehari-hari. Maka benar jika keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian diyakini namun juga harus tercermin dalam perilaku seorang muslim.
Ketauhidan yang telah terbentuk menjadi pandangan hidup seorang anak akan melahirkan perilaku yang positif  baik ketika sendirian maupun ada orang lain, karena ada atau tidak ada yang melihat, anak yang memiliki ketauhidan yang benar akan merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam penglihatan dan pengawasan Allah, sehingga amal dan perilaku positif yang dilakukan benar-benar karena mencari ridho Allah Swt.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh pendidik ataupun para orang tua, karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang benar, dan bertakwa kepada Allah Swt, yang dihiasi dengan akhlak dan perilaku positif, sehingga anak-anak yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal yang positif.
Hal-hal yang dapat bermanfaat baik untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya, agamanya, bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari anak yang bertauhid hanyalah mencari ridho Allah Swt, bukan mencari sesuatu yang bersifat duniawi.
3.    Pengertian Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab disebut dengan Tilmidz jamaknya adalah Talamid, yang artinya adalah murid, maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah Thalib, jamaknya adalah Thullab, yang artinya adalah mencari, maksudnya adalah “orang-orang yang mencari ilmu”.
Menurut Samsul Nizar (2002 : 25), dalam Filsafat Pendidikan Islam menjelaskan peserta didik secara definitif yang lebih detail, para ahli telah menuliskan beberapa pengertian tentang peserta didik. “Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memilki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan”.
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.
Menurut al-Rasyidin (2005 : 47) bahwa “peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan”.
Dalam paradigma pendidikan Islam menurut Ahmad D. Marimba, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. (al-Rasyidin dan Nizar, 2005: 47).

Menurut Abdul Mudjib (2008 : 113) dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam tugas atau kewajiban peserta didik yang harus dilaksanakan diantaranya adalah memenuhi syarat-syarat kode etik, menurut pendapat al-Ghazali, yang dikutip oleh fhatiyah Hasan Sulaiman, merumuskan  sebelas pokok kode etik peserta didik yaitu :
     Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada kepada Allah Swt, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahali) (perhatikan Q.S al-An'am : 162 dan al-Dzariyat : 56).
     Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.s Ad-Dhuha : 4) artinya belajar tak semata-mata untuk mendapat pekerjaan tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik dihadapan manusia dan Allah swt.
     Bersikap tawadlu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
     Menjaga fikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
     Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan ilmu tercela dapat menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antar sesama.
     Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardu 'ain menuju ilmu yang fardu kifayah ( Q.S al-Insyiqaq : 19).
     Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (Q.S al-Insyirah : 7).
     Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
     Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah swt, sebelum masuk ilmu duniawi.
     Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, mensejahterakan serta memberi keselamatan hidup dunia dan akhirat.
     Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik".
     "Menurut Ibnu Jama'ah yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams ad-Din etika peserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu : (1) terkait dengan diri sendiri, meliputi pembersihan hati, memperbaiki niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud (tidak materialistis), dan penuh kesederhanaan. (2) terkait dengan pendidik, meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan dan menghormatinya, senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya. (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu".
C.      Metode Penelitian
            Sebagaimana pemikiran M. Iqbal Hasan (2002:87), dalam buku Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya,mengemukakan bahwa, “Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada sebuah penelitian, namun melalui dokumen”. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan khusus dalam pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.
            Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode kepustakaan (library research), yakni memaparkan secara jelas beberapa permasalahan yang diungkap melalui pendekatan pustaka. atau menggali data-data yang bersumber dari bahan bacaan,dan berbagai literatur yang mengupas masalah fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan ketauhidan peserta didik yang terkandung dalam surat al-Ikhlas (studi analisis terhadap Tafsir Ibnu Katsir).

D.      Pembahasan
1.    Penafsiran Surat Al-Ikhlas Ayat 1-4 Menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir
Ibnu Katsir (2003: 573-575), dalam Tafsir al-Qur'an al-'Adzim Li-Alhafidz Ibnu Katsir, menjelaskan tentang bagaimana penafsiran dari surat al-Ikhlas, adalah sebagai berikut:
Ayat pertama. Ayat ini adalah jawaban kepada orang-orang Yahudi ketika mereka mengatakan ‘Kami menyembah ‘Uzair putra Allah’, dan orang-orang Nasrani mengatakan ‘al-Masih putra Allah’. Sedangkan orang-orang Majusi mengatakan ‘Kami menyembah matahari dan bulan’. Adapun orang-orang musyrik mengatakan ‘Kami menyembah berhala’.
Maka Allah Swt menurunkan surat al-Ikhlas ayat pertama ini kepada Rasul-Nya untuk meyakinkan umat manusia bahwa Alah itu Maha Tunggal dan satu-satunya, yang tiada tandingannya, tanpa pembantu, juga tanpa sekutu, serta tidak ada yang menyerupai dan menandingi-Nya.
Dan kalimat itu tidak bisa dipergunakan pada seorang pun dalam memberikan penerapan kecuali kepada Allah Swt. Karena Dia yang sempurna dalam semua sifat dan perbuatan-Nya.
Ayat kedua. Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa makna Ash Shomad ada empat pendapat:
Pertama, ash Shomad bermakna Allah adalah as Sayid (penghulu), tempat makhluk menyandarkan segala hajat pada-Nya. Kedua, ash Shomad bermakna,yaitu Allah tidak memiliki rongga (perut). Ketiga, ash Shomad bermakna yaitu  Allah itu Maha Kekal. Keempat, ash Shomad bermakna yaitu  Allah itu tetap kekal setelah para makhluk binasa.

Dalam Tafsir al-Qur’an al-'Adzim Li-Alhafidz Ibnu Katsir ini juga disebutkan beberapa perkataan ahli tafsir yakni sebagai berikut:
Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah:Seluruh makhluk bersandar/bergantung kepada-Nya dalam segala kebutuhan maupun permasalahan”.
Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas mengatakan “Dia lah As Sayyid (Pemimpin) yang kekuasaan-Nya sempurna. Dia lah asy Syarif (Maha Mulia) yang kemuliaanNya sempurna. Dia-lah al ‘Azhim (Maha Agung) yang keagunganNya sempurna. Dia lah al Halim (Maha Pemurah) yang kemurahanNya itu sempurna. Dia lah al ‘Alim (Maha Mengetahui) yang ilmu-Nya itu sempurna. Dialah al Hakim (Maha Bijaksana) yang sempurna dalam hikmah (atau hukum-Nya).
“Allah adalah pergantungan.”, artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepadaNyalah bergantung. Ada atas kehendakNya.
Ayat ketiga. Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung.
Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.
Ayat keempat. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di mengatakan makna ayat ini adalah. ”Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa (setara) dengan Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan.
Mujahid mengatakan, “Yakni, Dia tidak mempunyai pendamping”. Hal ini sesuai dengan apa yang tertera dalam kitab Shahih al-Bukhari yaitu, “Tidak ada yang lebih sabar dari sesuatu yang menyakitkan yang di dengar kecuali kesabaran Allah swt. Di mana mereka menjadikan bagiNya seorang anak, padahal Dia yang memberi rizki dan kesehatan kepada mereka”.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda yang artnya “Allah Swt, telah berfirman; Anak Adam telah mendustakanKu, sedang dia tidak berhak melakukan hal tersebut, dia juga mencelaKu, padahal dia tidak berhak untuk itu. Kedustaan yang dia lakukan terhadapKu itu adalah ucapanya, dia tidak akan pernah dapat mengembalikan diriKu sebagaimana dia telah memulai diriKu. Dan tidaklah pengawalan itu tidak lebih mudah dari pengulangannya. Dan caciannya kepadaKu adalah ucapannya bahwa Allah Swt telah mengambil anak, padahal Aku Maha Tunggal yang bergantung segala urusan, Aku tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak seorang pun yang setara denganKu”.
Keterangan kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapakNya mati. Kalau diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sehat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama kurang kekuasaannya.
Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasaNya, yakni masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
2.    Isi Kandungan Surat Al-Ikhlas Ayat 1-4
Keutamaan surat al-Ikhlas yaitu, (1. Sepertiga dari al- Qur'an, (2. Akan dikabulkan setiap do’anya jika di awali dengan membaca surat al-Ikhlas, (3. Pahala dn Syurga bagi pembacanya.
Maka dengan sendirinya kita dapat mengetahui isi kandungan dari surat al-Ikhlas ayat 1-4. Dalam Tafsir Al al-Qur’an Al 'Adzim Li Alhafidz Ibnu Katsir, Ibnu Katsir (2003:571-573), menyebutkan isi kandungan dalam al- Qur'an Surat al-Ikhlas ayat 1-4 adalah sebagai berikut:
Pertama: Asma  (nama) Tuhan yang patut disembah. Menetapkan keesaan Allah swt dan bantahan terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan bagi Allah anak. Kedua: Tauhidullah atau (pengesaan terhadap Allah). Ketiga: kesempurnaan sifat Allah swt .
3.    Fungsi Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Ketauhidan Menurut Syaikh Hafidz Ibnu Katsir
Pendidikan Tauhid merupakan landasan utama seorang muslim, identitasnya ditentukan oleh ketauhidannya yang benar, dia adalah sebuah pondasi bangunan, kuat tidaknya bangunan ditentukan oleh “pondasinya”, ia adalah akar sebuah pohon, hidup matinya pohon tergantung sehat tidaknya;kuat rapuhnya akar sang pohon.
Sehingga “Tauhid” menjadikan seorang muslim hanya tunduk, patuh pasrah kepada Allah. Pengakuan  tersebut harus dicerminkan dengan keyakinan teguh dalam hati sampai akhir hayat, juga diucapkan secara lisaniyah, serta teraplikasi dalam setiap aktivitas gerak fisik.
Dalam wibesite http://www.hidayatullah.com /read /2005 3/05 /12/ 2011/ menggagas-konsep-pendidikan-berbasis-tauhid.html (diakses pada tgl. 29, 09, 2013), dikatakan bahwa:
Tauhid sebagai Azas Pendidikan. Dari sudut pandang Islam, problematika besar yang melanda kemanusiaan di abad ini disebabkan oleh gerakan pemujaan akal dan pengabaian secara sengaja terhadap mu’jizat akhir zaman yakni al- Qur'an.
Ilmu yang hari ini ada tidak saja telah rusak tetapi juga sangat berperan dalam menggiring manusia pada kesesatan berpikir yang sangat berbahaya. Kesesatan yang berakibat pada hilangnya dasar-dasar kemanusiaan dan menjadikan manusia hidup dalam hukum kebinatangan.
Paparan Allah dalam al- Qur'an mengindikasikan satu kehendak kuat bahwa semestinya manusia benar-benar tunduk, patuh, dan taat kepada Allah semata, seperti apapun akal memandang perintah tersebut. Suka tidak suka, perintah Allah harus dilaksanakan dan segala larangan harus ditinggalkan.
Termasuk dalam dunia pendidikan. Tujuan pendidikan hendaknya tidak direduksi hanya pada aspek material semata. Pendidikan seharusnya justru mengintegrasikan kekuatan besar manusia, yaitu akal dan jiwa. Akal membutuhkan informasi, dan jiwa sangat membutuhkan petunjuk (wahyu).
Penyebab Kekalahan Umat Islam. Hampir semua pemikir Muslim kontemporer sepakat bahwa kemunduran yang terjadi ini adalah akibat dari umat Islam yang tidak lagi antusias dalam menjalankan ajaran agama Islam. Bahkan mentadabburinya pun boleh dibilang sudah cukup redup. Sejauh ini kita tidak salah jika berpendapat bahwa hampir setiap hari umat Islam membaca koran tapi tidak demikian dalam membaca al- Qur'an.
Strategi Konsep Pendidikan Berbasis Tauhid. Tugas membangun pendidikan berbasis tauhid ini bukan monopoli atau tanggung jawab para guru semata. Ini adalah tugas kita bersama.
Pertama, bermujahadah dalam mentadabburi, mentafakkuri kandungan kitab suci al- Qur'an dan mengamalkannya secara massal bahkan kolossal.
Kedua, meninggalkan paham anthroposentris dan segera menuju pada paham tauhid. Sebagaimana atsar sayyidina Ali bahwa, akal dan wahyu ibarat dua tanduk yang tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan.
 Ketiga, seluruh umat Islam berkewajiban meningkatkan kepekaan atau sensitivitas terhadap kondisi umat Islam secara menyeluruh, sehingga lahir kepedulian yang tinggi untuk bersama-sama mengambil peran dalam menjawab tantangan zaman.
Keempat, mulailah satu gerakan walau kecil untuk mencintai dan memakmurkan masjid. Setidaknya dengan cara meramaikan pelaksanaan sholat jama’ah di masjid lima waktu, meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan keilmuan di masjid, bahkan mungkin kegiatan ekonomi di masjid.
Kelima, setiap muslim hendaknya meningkatkan kualitas diri dengan mempertajam bekal keilmuan ukhrowi dan duniawi sekaligus.

Secara umum pendidikan dipahami sebagai ikhtiar untuk menyiapkan peserta didik melalui berbagai proses agar mereka cerdas dan dapat berperan selayaknya. Dalam perspektif tauhid pendidikan mampu menjadi satu infrastruktur dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan utuh yakni manusia paripurna sebagai wujud keutuhan dan ketaqwaannya.
Ibnu Katsir (2003: 571-575), dalam Tafsir al-Qur’an al-'Adzim Li-Alhafidz Ibnu Katsir, menjelaskan tentang fungsi pendidikan Islam dalam meningkatkan ketauhidan yang terkandung dalamsurat al-Ikhlas, adalah sebagai berikut:
     Membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk. Mengajarkan emansipasi manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan-kesenangan sensual belaka. Sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maksudnya ialah bahwa tauhid menjadi kerangka pemikiran dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia. Sebagai pondasi keimanan yang juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup  seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Mengajarkan kepada umat islam supaya menjadikan Allah swt sebagai pusat kesadaran intelektual mereka.

Dengan diketahuinya fungsi- fungsi tauhid oleh umat Islam serta mereka dapat dan mau mengaplikasikannya dalam kehidupan maka mereka akan menjadi manusia tauhid yang memiliki ciri-ciri positif yaitu :
Memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Menolak pedoman hidup yang datangnya bukan dari Allah Swt. Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat- istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya. Tujuan hidupnya sangat jelas. Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya hanyalah untuk Allah swt semata. Memiliki visi dan misi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama manusia lain; suatu kehidupan yang harmonis antar sesama manusia; dan ia akan terdorong untuk mengubah dunia dan masyarakat sekelilingnya sehingga semangat untuk berkarya bagi kemaslahatan umat.
4.    Pembahasan
Konsep awal dari tauhid adalah  menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluk (yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini, ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus.
Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Jika tauhid kita artikan pengesakan Tuhan, maka pengakuan kita bahwa Tuhan hanya ada satu dan artinya kita hanya harus fokus pada satu tuhan, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak lain hanyalah Allah Swt.
Makna lain dari Tauhid adalah kesetiaan dan ketaatan kita terhadap Tuhan. Kita bertauhid berarti kita mengikat diri dengan kita kepada Tuhan, janji untuk taat terhadap segala aturan yang Dia berikan. Kita tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bertauhid ketika kita melanggar janji kita dengan Tuhan, ketika kita mengingkari perintah-Nya, meskipun kita tetap percaya dan teguh bahwa Tuhan itu Esa. Artinya, tidak cukup dengan mengesakan Tuhan tanpa melakukan ibadah-ibadah yang diperintahkan-Nya, baik ibadah spiritual maupun sosial.
Jika kita ingat sebuah perkataan Nabi yang menyatakan bahwa jika kita berjanji lalu kita mengingkari, maka kita masuk dalam golongan orang-orang munafik. Maka sama dengan hal ini, jika kita tidak setia dan tidak taat terhadap janji kita dalam ranah sosial, maka itu berarti bahwa kita “munafik sosial”.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan Islam perlu dikembalikan kepada dasar tauhid, sebab salah satu persoalan besar yang sangat krusial adalah dikotomi ilmu. Upaya yang dapat ditempuh dalam menyatukan ilmu harus berangkat dari pemahaman yang benar terhadap tauhid serta implementasinya dalam pengembangan ilmu serta dibarengi pula dengan integrasi nilai syaraiat dan akhlak dalam merumuskan teori keilmuan.
Rekonstruksi bangunan keilmuan ini merupakan kebutuhan mendesak dalam membangun peradaban baru sekaligus menyelamatkan manusia dari degradasi humanitas.
Dalam menyikapi kecenderungan ini, yang paling strategis adalah pembenahan dunia pendidikan, sebab melalui lingkungan inilah berbagai pengkajian dan penelitian dapat dilakukan.
Dalam menghadapi perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi para pakar pendidikan muslim telah melakukan upaya untuk menjadikan Islam sesuai dengan semangat keilmuan dan filosofis yang ada sekarang. Dalam wibesite http :// oppahermanto .blogspot .com / 2013/ 04/ hubungan –ilmu –tauhid -dengan-ilmu .html (diakses pada tgl. 18, 09, 2013), dikatakan bahwa:
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Didiklah anak kalian dengan pendidikan yang berbeda dengan yang diajarkan padamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zaman kalian".
Harus diakui bahwa sementara ini sistem pendidikan tradisional kita tidak dirancang untuk menghadapi tantangan-tantangan modernitas, dan konflik-konflik antara orang-orang muslim berpendidikan modern dan ulama berlanjut di depan pemilihan yang semakin meningkat pada umat Islam. Isma'il al Faruqi, misalnya, yang telah mencetuskan gagasan Islamisasi pengetahuan modern, sekarang telah mulai dirasakan hasilnya. Solusi al Faruqi bagi dikotomi pendidikan menegaskan bahwa pengetahuan modern tidak bisa dianggap bebas nilai (value free) dan bahwa ia harus dinilai di dalam kerangka kerja Islam.
Islamisasi pengetahuan tidaklah berarti suatu penolakan terhadap pengetahuan modern, namun ia adalah upaya membersihkan sains dan ilmu penge-tahuan dari unsur-unsur sekuler dengan memasukkan visi Islam ke dalamnya.
Pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tauhid. Hakikat ilmu bersumber dari Allah. Dia mengajari manusia melalui qalam dan 'ilm. Qalam adalah konsep tulis baca yang memuat simbol penelitian dan eksperimentasi ilmiah. Sedangkan 'ilm adalah alat yang mendukung manusia untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Melalui konsep tarbiyyat, ta'dib, dan ta'lim yang telah dikembangkan selama ini oleh para ahli semuanya mengacu kepada bagaimana membina umat manusia untuk berhubungan dengan Allah sebagai Dzat Yang Maha Mendidik.
Allah sebagai pendidik yang maha Agung kemudian mendidik para RasulNya, lalu secara artifisial tugas tugas kependidikan selanjutnya diserahkan kepada para ulama, profesional, ustadz, mu'allim, atau guru.
Sebagai seorang pewaris misi Rasul Allah, seorang pendidik haruslah memenuhi lima kriteria yaitu (a) bertaqwa kepada Allah, (b) ikhlas berkorban karena merindukan ridha Allah, (c) berilmu pengetahuan luas mengenai kekuasaan Allah, dan (d) santun, lemah lembut, sabar, pemaaf, (e) memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi dan berlaku adil.
Rasulullah adalah pendidik yang berhasil dan unggul di hadapan Allah dan sejarah umat manusia. Keberhasilannya oleh karena (1) didukung oleh kepribadian (personality) yang berkualitas tinggi, (2) mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah sosial-religius, (3) mempunyai semangat yang peka dalam iqra' bi ism Rabbik, dan (4) mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman, amal shalih dan memperjuangkan kebenaran atas prinsip ta'awun (kerja sama) dan sabar.
Keberhasilan beliau dapat diformulasikan bahwa seorang pendidik berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki kompetensi profesional religius. Sikap religiusitas harus selalu dikaitkan dengan setiap kompetensi agar semua persoalan berada dalam perspektif Islam. Demikian itulah tugas utamanya seorang pendidik, kata al Ghazaly, yakni menyempurnakan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk dekat kepada Allah.
Dengan demikian, yang dimaksud pendidikan yang berbasis tauhid ialah keseluruhan kegiatan bimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahliannya masing-masing yang bersumber dari Allah.
Selanjutnya, ilmu dan keahlian yang dimilikinya diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi konkret pengabdian dan kepatuhannya kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali dari menanamkan nilai-nilai akhlaq al karimah (budi pekerti, tatakrama, menurut istilah lokal kita di Indonesia) dalam diri setiap peserta didik kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur dan pemelihara kehidupan di dunia ini.
Sebab, pada dasarnya tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah (1) terbentuknya insan kamil (manusia universal, conscience) berwajah al-Qur'ani, (2) terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius, budaya, dan ilmiah, (3) penyadaran akan eksistensi manusia sebagai 'abd (hamba), khalifah, pewaris perjuangan risalah para Nabi.
Pada akhirnya, melalui konsepsi pendidikan berbasis tauhid ini setiap manusia akan memasuki fase kehidupan yang oleh Allah sebut kaffah. Suatu perwujudan sikap pribadi utuh yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, sikap yang humanis, toleran serta mendatangkan kebaha-giaan bagi kehidupan bersama.
Jadi, salah satu tantangan kita ke depan khususnya aktivitas pendidikan Indonesia yang telah banyak berjasa melahirkan para pemikir, penguasa, pengusaha atau profesi lainnya, terutama di bidang pendidikan, untuk tiada hentinya memelopori lahirnya gagasan, konsep, teori, dan sistem pendidikan yang berbasis tauhid sehingga lahir corak pendidikan sosio-religi.

Peluang ini sangat mungkin dan terbuka sebagai bagian dari upaya melakukan pembaharuan pendidikan. Upaya itu sangat bersesuaian baik dilihat dari segi sosiologis, kultural, ideologi maupun paham teologis masyarakat kita yang mayoritas muslim.
Proses dan perkembangan yang sedang berjalan dalam bentuk pengintegrasian nilai-nilai agama (Islam) ke dalam sains, teknologi, dan seni di semua jenjang lembaga pendidikan dan profesi yang ada barulah merupakan jenjang awal yang benar dan strategis menuju upaya perwujudan pendidikan yang berbasis tauhid.
Adapun beberapa metode yang relevan dengan al- Qur'an surat al-Ikhlas ayat 1-4 dalam hal meningkatkan kualitas ketauhidan peserta didik adalah sebagai berikut:
1.    Kalimat tauhid
F. J. Monks (2001:87), dalam buku Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, yang mengutip pendapat Wertheimer yaitu, “Bahwa bayi juga akan memalingkan pandangannya ke arah suara yang ia dengar, setelah 10 menit ia dilahirkan. Gerakan ini disebut sebagai reaksi orientasi. Fungsi auditif bayi akan bereaksi terhadap irama dan lama waktu berlangsungnya”.
2.    Keteladanan
Di era yang modern ini, metode keteladanan masih sangat diperlukan dalam dunia pendidikan. Keteladanan akan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi tercapainya tujuan pendidikan, begitu pula dalam hal pendidikan tauhid. Pendidik  merupakan contoh tauladan utama sebagai panutan bagi peserta didiknya, memegang teguh ketauhidan dan menjaganya, serta mengamalkan nilai-nilai ketauhidan.
Meskipun demikian metode keteladanan memiliki kelebihan. Menurut Armai Arif (2002: 122-123), dalam buku Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam Di antara kelebihan metode keteladanan adalah :
Anak akan lebih mudah menerapkan ilmu yang telah diketahui. Orang tua akan mudah mengevaluasi hasil belajar anaknya. Tujuan pendidikan akan lebih terarah dan tercapai dengan baik. Akan menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif. Terjalin hubungan harmonis antara anak dengan orang tua. Orang tua dapat menerapkan pengetahuannya kepada anak. Mendorong orang tua agar selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh anak-anaknya.

Sri Harini dan Aba Firdaus al Halwani (2003: 122-123) dalam buku Mendidik Anak Sejak Dini, mengatakan:
Pendidikan praktis menunjukkan bukti bahwa anak secara psikologis cenderung meneladani orang tuanya, karena adanya dorongan naluriah untuk meniru. Kualitas agama anak serta ketauhidannya sangat tergantung kepada orang yang terdekat dengan mereka yakni orang tua. Kepribadian anak akan terbentuk dan terpola dari teladan yang ia tiru sejak awal kehidupannya dalam keluarga. Islam telah memberikan contoh kepada para orang tua kepada sosok bernama Lukman al Hakim, yang mengajarkan bagaimana seharusnya seorang ayah menuntun dan menanamkan ketauhidan kepada anak-anaknya, contoh ini tidak hanya melalui perintah tetapi keteladanan Lukman al Hakim sendiri sebagai orang tua.
3.    Pembiasaan. 
Armai Arif (2002: 110-111), dalam buku Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, mengatkan bahwa:
Pembiasaan adalah proses untuk membuat orang menjadi biasa. Jika dikaitkan dengan metode pendidikan Islam maka metode pembiasaan merupakan cara yang dapat digunakan untuk membiasakan anak berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama Islam. Metode ini sangat efektif untuk anak-anak, karena daya rekam dan ingatan anak yang masih kuat sehingga pendidikan penanaman nilai moral, terutama ketauhidan ke dalam jiwanya sangat efektif  untuk dilakukan.
Potensi dasar yang dimiliki anak serta adanya potensi lingkungan untuk membentuk dan mengembangkan potensi dasar tersebut melalui pembiasan-pembiasan agar potensi dasar anak menuju kepada tujuan pendidikan Islam, hal ini tentunya memerlukan proses serta waktu yang panjang.

“Kebiasaan seseorang, jika dilihat dari ilmu psikologi ternyata berkaitan erat dengan orang yang ia jadikan figur dan panutan” (Arif, 2002: 114). Abdullah Nashih Ulwan (1992: 45), dalam buku Pendidikan Anak Menurut Islam, mengatakan:
Landasan awal dalam metode pembiasaan adalah “fitrah” atau potensi yang dimiliki oleh setiap anak yang baru lahir, yang diistilahkan oleh beliau dengan “keadaan suci dan bertauhid murni”. Sehingga dengan pembiasaan diharapkan dapat berperan untuk menggiring anak kembali kepada tauhid yang murni tersebut.

Ada beberapa syarat yang harus dilakukan untuk menerapkan metode pembiasan, Armai Arif (2002: 114-115), dalam buku Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, mengatkan bahwa:
Proses pembiasan dimulai sejak anak masih bayi, karena kemampuannya untuk mengingat dan merekam sangat baik. Sehingga pengaruh lingkungan keluarga secara langsung akan membentuk kepribadiannya. Baik ataupun buruk kebiasannya akan muncul sesuai dengan kebiasan yang berlangsung di dalam lingkungannya.
Metode ini harus dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus, teratur dan terencana. Oleh sebab itu faktor pengawasan sangat menentukan. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya anak akan terbentuk dengan kebiasaan yang utuh, permanen dan konsisten.
Meningkatkan pengawasan, serta melakukan teguran ketika anak melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan.
Pembiasan akan terus berproses, sehingga pada akhirnya anak melakukan semua kebiasaan tanpa adanya dorongan orang tuanya baik ucapan maupun pengawasan. Namun akan melakukannya karena dorongan dan keinginan dari dalam dirinya sendiri.

 “Ketauhidan anak akan tumbuh melalui latihan-latihan dan pembiasaan yang diterimanya. Biasanya konsepsi-konsepsi yang nyata, tentang Tuhan, malaikat, jin, surga, neraka, bentuk dan gambarannya berdasarkan informasi yang pernah ia dengar dan dilihatnya” (Darajat, 1970:43). Latihan Kalimat Tauhid. 2)  Latihan Beribadah. 3)  Latihan  Berdoa di setiap Aktivitas” (Kayati, 1999: 38).
4.    Nasehat
Salah satu potensi yang ada di dalam jiwa manusia adalah potensi untuk dapat dipengaruhi dengan suara yang didengar atau sengaja diperdengarkan. Potensi ini tidak sama dalam diri seseorang, serta tidak tetap. Sehingga untuk dapat terpengaruh secara, suara yang didengar atau diperdengarkan haruslah diulang terus. Permanen atau tidak pengaruh yang dihasilkan tergantung kepada intensitas dan banyaknya pengulangan suara yang dilakukan.
Nasehat yang dapat melekat dalam diri anak jika diulang secara terus menerus. Namun nasehat saja tidaklah cukup ia harus didukung oleh keteladanan yang baik dari orang yang memberi nasehat. Jika orang tua mampu menjadi teladan maka nasehat yang ia sampaikan akan sangat berpengaruh terhadap jiwa anak.
“Nasehat merupakan aspek dari teori-teori yang disampaikan orang tua kepada anak. Metode ini memiliki peran sebagai sarana untuk menjelaskan tentang semua hakekat” ( Ulwan, 1992:66).  “Bawalah dunia mereka ke dunia kita , dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”, (De Porter, 2001: 6).
5.      Pengawasan.
“Dalam membentuk akidah anak memerlukan pengawasan, sehingga keadaan anak selalu terpantau. Secara universal prinsip-prinsip Islam mengajarkan kepada orang tua untuk selalu mengawasi dan mengontrol anak-anaknya” (Ulwan, 1992:129).
Maksud dari pengawasan ialah guru memberikan teguran jika peserta didiknya melakukan kesalahan atau perbuatan yang dapat mengarahkannya kepada pengingkaran ketauhidan. Pengawasan juga bermakna bahwa guru siap memberikan bantuan jika peserta didik memerlukan penjelasan serta bantuan untuk memahami dan melatih dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan kepadanya.
“Pendidik harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pendidikan tauhid anak. Rasa tanggungjawab akan menjadi motor penggerak untuk memperhatikan dan memikirkan pendidikan tauhid untuk anak-anaknya” (Zein, 1991: 68).
Dari berbagai realita kehidupan, baik itu dalam dunia pendidikan, keluarga ataupun lingkungan masyarakat, yang banyak ditemukan berbagai penyimpangan tentang masalah ketauhidan yang hampir luntur karena terlindas modernisasi dan westernisasi. Alangkah baiknya sebagai seorang calon pendidik, kita mulai mengembalikan pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas ketauhidan peserta didik sesuai dengan apa yang tertera dalam al-Qur'an surat al-Ikhlas ayat 1- 4. Tentunya dengan dukungan dari pemikiran-pemikiran para pakar pendidikan Islam.
E.       Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Katsir adalah salah satu tokoh dunia Islam yang berprestasi dan peduli terhadap kemajuan umat Islam.
Pendidikan memiliki peran penting terhadap tingginya kualitas ketauhidan peserta didik. Dengan demikian, guru diharapkan memberikan pendidikan tauhid baik teori maupun aplikasnya, sebagai upaya nyata menciptakan manusia yang maju IPTEK serta kuat dalam IMTAQ. Dan sebagai dasar dari ketauhidan peserta didik, tertera jelas dalam al-Qur'an surat Al-Ikhlas (112) ayat 1-4.
1. Penafsiran surat Al-Ikhlas (112) ayat 1-4.
Tauhid sebagai Azas Pendidikan, penyebab kekalahan umat Islam karena meninggalkan inti dari tauhid, strategi konsep pendidikan berbasis tauhid: (a). bermujahadah dalam mentadabburi, (b). mentafakkuri kandungan kitab suci al-Qur'an dan mengamalkannya, (c). meningkatkan kepekaan terhadap kondisi umat Islam secara menyeluruh, (d). mencintai dan memakmurkan masjid, (e). meningkatkan kualitas keilmuan ukhrowi dan duniawi.
2. Isi Kandungan Surat Al-Ikhlas (112) Ayat 1-4
1) Membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk. 2) Mengajarkan emansipasi manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan- kesenangan sensual belaka. 3) Sebagai frame of thought dalam perkembangan IPTEK. 4) Menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia. 5) Sebagai pondasi keimanan. 6) Mengajarkan kepada umat Islam supaya menjadikan Allah swt sebagai pusat kesadaran intelektual mereka. 7) Memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. 8) Menolak pedoman hidup yang datangnya bukan dari Allah swt. 9) Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat- istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya. 10) memliki visi, misi dan tujuan hidup yang jelas.
3. Fungsi Pendidikan Islam dalam Meningkatkan Ketauhidan
1). Terbentuknya Insan Kamil. 2) Terciptanya Insan Kaffah . 3) Penyadaran akan eksistensi manusia sebagai 'Abd (hamba), khalifah, pewaris perjuangan risalah para Nabi. Adapun metode untuk meningkatkan kualitas ketauhidan peserta didik adalah: (1) kalimat tauhid. (2) keteladanan. (3) pembiasaan (4) nasehat (5) pengawasan.
F.       Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, penulis dapat menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1.      Hasil penelitian ini sangat diharapkan menjadi masukan pengetahuan dan  pemahaman bagi guru karena ia senantiasa menjadi figur bagi peserta didiknya.
2.      Guru diharapkan berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan karena akan senantiasa diperhatikan dan dicontoh oleh peserta didik.
3.       Guru diharapkan mampu menampilkan kepribadian yang mulia dalam setiap tindakan guna memberikan ketauladanan yang baik bagi peserta didik dalam proses pendidikan, agar tujuan dari pendidikan tersebut dapat tercapai. 


No comments: