Apa Karakteristik Firqah Najiyah Yang
Paling Menonjol?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
(www.almanhaj.or.id) Pertanyaan.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa karakteristik firqah najiyah yang
paling menonjol? Apakah bila terjadi kekurangan akan mengeluarkan seseorang
dari firqah najiyah?Jawaban
Karakteristik firqah najiyah yang
paling menonjol adalah berpegang teguh dengan apa yang
dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Di dalam empat
perkara inilah kamu akan mengetahu firqah najiyah.Dalam masalah aqidah, kamu
mendapati firqah najiyah selalu berperang teguh dengan apa yang ditunjukkan
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
tauhid yang murni dalam uluhiyah Allah, rububiyah-Nya dan asma’ wa
sifat-NyaDalam masalah ibadah, kamu dapati firqah najiyah ini begitu unik di
dalam berpegang teguh yang sempurna dan dalam merealisasi apa yang datang dari
Nabi dalam masalah ibadah, berupa jenis, sifat, ukuran, waktu, tempat dan
sebab-sebabnya. Kamu tidak akan mendapati mereka berbuat
bid’ah
dalam agama Allah ini, namun justru mereka sangat tunduk kepada Allah dan
Rasul-Nya, tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam memasukkan bentuk ibadah
yang tidak diridhai-Nya.Dalam masalah akhlak kamu dapati mereka juga istimewa
dari yang lainnya ; dalam hal kebagusan akhlak, seperti cinta akan kebaikan
untuk orang-orang muslim, lapang dada, wajah berseri, bagus dan mulia
ucapannya, berani dan akhlak mulia lainnya.Dalam masalah mu’amalah,
kamu dapati mereka bermu’amalah kepada manusia dengan jujur dan terus
terang. Mereka itulah yang ditunjuk oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya.
“Artinya
: Dua orang yang jual beli (penjual dan pembeli) mempunyai hak memilih barang
selama mereka belum berpisah, yang jika keduanya jujur dan terus terang maka
jual beli keduanya diberkahi” [1]Bila karakteristik- karakteristik
ini kurang pada diri seseorang, hal itu tidak menjadikan ia keluar dari firqah
najiyah, akan tetapi segala sesuatu ada derajadnya sesuai dengan apa yang
mereka kerjakan. Namun bila terjadi dalam tauhid, bisa jadi mengeluarkan dia
dari firqah najiyah seperti rusaknya keikhlasan. Demikian juga
bid’ah, bisa jadi dia berbuat bid’ah yang mengeluarkan dia
dari firqah najiyah.Sedang kekurangan dalam masalah akhlak dan
mu’amalah tidaklah mengeluarkan seseorang dari firqah najiyah ini,
tapi mengurangi martabatnyaKita membutuhkan perincian dalam masalah akhlak. Hal
yang terpenting dalam akhlak adalah bersatunya kalimat dan sepakat di atas
kebenaran. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wasiatkan kepada
kita dalam firman- Nya.“Artinya : Dia telah mensyari’atkan
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya” [Asy-Syura : 13]Dan juga mengkhabarkan bahwa
orang-orang yang memecah belah dien dan mereka menjadi terpecah-pecah, maka
Muhammad Shallallahu
‘alaihi
wa sallam berlepas diri dari mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah
agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’am :
159]Bersatunya kalimat dan hati yang saling berkasih sayang adalah karakteristik
firqah najiyah ahlul sunnah wal jama’ah yang paling tampak. Bila
terjadi perselisihan di antara mereka dalam berijtihad pada masalah-masalah
yang memang diperbolehkan untuk berijtihad, maka hal itu tidak membuat mereka
saling dengki, saling bermusuhan dan saling membenci, tapi mereka meyakini
bahwa mereka tetap bersaudara walaupun terjadi perselisihan di antara
mereka.Seseorang di antara mereka masih tetap ikut shalat di belakang seorang
imam yang dianggap belum wudlu, tapi sang imam meyakini bahwa dia sudah wudlu.
Seperti seseorang di antara mereka shalat di belakang seorang imam yang telah
makan daging unta. Sang imam berpendapat bahwa memakan daging unta tidaklah
membatalkan wudlu, sedangkan makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudlu,
maka ia bependapat bahwa shalat dibelakang imam tersebut adalah tidak sah.
Semua ini bisa berlangsung karena mereka memandang bahwa perselisihan ijitihad
yang terjadi dalam masalah- masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad ; pada
hakekatnya bukanlah perselisihan, karena masing-masing dari mereka telah
mengikuti apa yang seharusnya diikuti, yaitu dalil yang mereka tidak boleh
menyimpang darinya.Mereka memandang bahwa saudaranya yang menyelisihi mereka
dalam amalan yang sama-sama mengikuti dalil, pada
hakekatnya
mereka telah bersepakat, karena mereka selalu menyeru untuk mengikuti dalil di
mana mereka berada. Jika perselisihan di antara mereka adalah sesuai dengan
yang mereka pegangi, pada hakekatnya mereka sepakat, karena berjalan sesuai
dengan apa yang mereka serukan dan apa yang mereka tunjukkan, yaitu berhukum
pada Kitabullah dan sunnah Rasul-Ny Shallallahu ‘alaihi wa sallamTak
bisa dipungkiri, perselisihan juga terjadi pada kebanyakan Ahlul ilmu dalam
perkara-perkara seperti ini, bahwa hal inipun terjadi pada para sahabat, bahkan
juga menimpa pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi satu
sama lain tidak mencela. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kembali dari perang Ahzab, Jibril datang mengisyaratkan untuk berangkat
ke Bani Quraidlah karena mereka telah mengingkari janji, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajak para sahabat dan
bersabda.“Artinya : Janganlah salah seorang di antara kalian
mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraidlah” [2]Maka para
sahabat keluar dari Madinah menuju Bani Quraidlah dan mengakhirkan Ashar,
sebagian ada yang mengakhirkan shalat hingga tiba di Bani Quraidlah meski waktu
Ashar sudah habis, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Seseorang di antara kalian jangan shalat Ashar kecuali di Bani
Quraidlah”, maka sebagian ada
yang melaksanakan shalat tepat pada waktunya dan berkata :
‘Sesungguhnya
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan kita bersegera untuk
berangkat berperang, bukan menginginkan untuk mengakhirkan shalat pada
waktunya’, mereka inilah yang benar. Walaupun demikian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencerca salah satu dari dua
kelompok ini, dan seseorang di antara mereka tidak menimbulkan permusuhan
kepada yang lain, atau menimbulkan kebencian yang
disebabkan perselisihan mereka dalam
memahami nash.Oleh karena itu saya berpendapat bahwa yang wajib bagi kaum
muslimin
yang bepegang kepada sunnah untuk menjadi umat yang satu dan jangan sampai
menjadi berpartai-partai, golongan ini hanya mau dengan kelompoknya sendiri,
partai ini hanya konsisten dengan partai yang lain, dan partai yang ketiga
konsisten dengan partai ketiga, demikian terus hingga mereka saling bertengkar,
adu mulut, saling membenci dan saling memusuhi dikarenakan perselisihan dalam
perkara-perkara yang sebenarnya diperbolehkan berijtihad. Masing-masing
golongan tidak perlu megkhususkan partainya sendiri, dan orang yang cerdik akan
mudah memahami perkara ini.Saya berpendapat bahwa ahlus sunnah wal
jama’ah wajib bersatu, meskipun terjadi perselisihan yang disebabkan
perbedaan faham tentang maksud suatu nash, karena ini termasuk perkara-perkara
yang alhamdulillah ada kelonggaran. Yang terpenting adalah saling berkasih
sayangnya hati dan bersatunya kalimat. Tidak diragukan lagi bahwa musuh-musuh
Islam senang bila kaum muslimin berpecah belah. Baik musuh yang terang-
terangan memusuhi ataupun
musuh yang menampakkan loyalitasnya kepada kaum muslimin atau dienul Islam,
padahal hakekatnya mereka membenciYang wajib bagi kita adalah memilih sepakat
di atas kalimat yang satu. Itulah keistimewaan firqah najiyah.[Disalin dari
kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi
Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
Foote Note
[1].
Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Kitabul Buyu, Bab Idza Bayyana
Albai’ani Walam Yaktuma wa Nasahaa, no. 2079. Dan Muslim dalam
Kitabul Buyu’, Bab As-Sidqu Fil Bai’i wal Bayan, no. 1532
[2]. HR Bukhari : 946 dan Muslim :1770
No comments:
Post a Comment